Bayangan di Balik Cermin Warisan
Setelah neneknya meninggal secara mendadak, Ayu menerima satu
barang warisan yang tak pernah ia duga: sebuah cermin besar bergaya antik,
berbingkai kayu jati berukir motif bunga kamboja. Cermin itu dipindahkan dari
kamar neneknya di desa ke rumah Ayu di kota, lalu diletakkan di sudut kamar
tidur atas permintaannya sendiri. Ia selalu menyukai barang-barang lama, dan
cermin itu terlihat sangat elegan.
Namun, sejak malam pertama cermin itu berada di kamarnya, sesuatu
mulai terasa aneh.
Pukul dua dini hari, Ayu terbangun tanpa sebab. Udara di kamarnya
dingin meski tidak ada AC atau kipas yang menyala. Saat membuka mata, ia
melihat bayangan samar di cermin—seperti sosok perempuan berdiri mematung di
belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Tak ada siapa pun. Tapi saat menatap
kembali ke cermin, bayangan itu masih ada. Sosok perempuan berambut panjang
dengan wajah pucat menunduk, mengenakan kebaya yang tampak basah dan lusuh.
Ayu memejamkan mata. Ia mengira itu hanya efek ngantuk atau
mimpi. Tapi setiap malam, bayangan itu kembali, semakin jelas. Kadang terdengar
suara bisikan, sangat pelan, seperti memanggil, “Tolong aku...”
Ia mencoba menyingkirkan cermin itu dari kamarnya, tapi tubuhnya
seperti lumpuh setiap kali hendak memindahkannya. Ia hanya bisa menatapnya
dengan tubuh gemetar, seolah cermin itu memegang kendali.
Ketika tak tahan lagi, Ayu pergi ke rumah sepupu neneknya, Bu
Murni, yang tinggal tak jauh dari desa asal nenek. Dengan ragu, ia menceritakan
semuanya. Wajah Bu Murni langsung pucat. Ia lalu membuka cerita yang selama ini
disembunyikan keluarganya.
Dulu, nenek Ayu memiliki seorang adik perempuan bernama Ratri.
Ratri jatuh cinta pada seorang lelaki yang menjanjikan akan menikahinya, namun
ditinggal begitu saja saat diketahui hamil. Karena malu, keluarga mengurung
Ratri di kamar dan tak mengizinkannya keluar, hingga ia melahirkan dalam
keadaan sakit dan lemah. Suatu malam, Ratri ditemukan tewas bunuh diri di depan
cermin kamarnya—cermin yang sekarang ada di kamar Ayu. Cermin itu kemudian
disimpan oleh nenek Ayu dan tak pernah disentuh lagi sejak kejadian itu.
“Jiwa Ratri mungkin masih terjebak di dalam cermin itu,” kata Bu
Murni dengan suara lirih. “Ia belum tenang.”
Malam itu, Ayu kembali ke rumah dengan perasaan tak tenang. Ia
memberanikan diri berdiri di depan cermin. Bayangan Ratri muncul lebih jelas
dari sebelumnya. Tapi kali ini, ia tidak hanya berdiri. Ia menatap langsung ke
arah Ayu dengan mata kosong yang basah, lalu bibirnya bergerak.
“Tolong... anakku...”
Ayu menatapnya dengan tubuh menggigil. Di detik itu, ia merasa
tubuhnya tersedot ke dalam cermin, namun tiba-tiba bayangan itu lenyap. Sejak
malam itu, cermin itu tak lagi menunjukkan bayangan apa pun selain dirinya
sendiri. Tapi Ayu tahu, pesan itu nyata.
Beberapa minggu kemudian, ia kembali ke desa dan menyelidiki
catatan tua. Di belakang rumah neneknya, ia menemukan sebuah makam kecil tanpa
nama, tersembunyi di balik semak-semak. Ia bersihkan makam itu, memasang batu
nisan bertuliskan: "Ratri dan Putranya,
yang Tak Pernah Disambut Dunia."
Sejak saat itu,
malam-malam Ayu menjadi tenang. Tapi cermin itu tetap ia simpan—bukan sebagai
hiasan, melainkan sebagai pengingat bahwa beberapa luka hanya bisa sembuh jika
diingat dan diakui.
Post a Comment for " Bayangan di Balik Cermin Warisan"