Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bayangan di Balik Cermin Warisan

Setelah neneknya meninggal secara mendadak, Ayu menerima satu barang warisan yang tak pernah ia duga: sebuah cermin besar bergaya antik, berbingkai kayu jati berukir motif bunga kamboja. Cermin itu dipindahkan dari kamar neneknya di desa ke rumah Ayu di kota, lalu diletakkan di sudut kamar tidur atas permintaannya sendiri. Ia selalu menyukai barang-barang lama, dan cermin itu terlihat sangat elegan.

Namun, sejak malam pertama cermin itu berada di kamarnya, sesuatu mulai terasa aneh.

Pukul dua dini hari, Ayu terbangun tanpa sebab. Udara di kamarnya dingin meski tidak ada AC atau kipas yang menyala. Saat membuka mata, ia melihat bayangan samar di cermin—seperti sosok perempuan berdiri mematung di belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Tak ada siapa pun. Tapi saat menatap kembali ke cermin, bayangan itu masih ada. Sosok perempuan berambut panjang dengan wajah pucat menunduk, mengenakan kebaya yang tampak basah dan lusuh.

Ayu memejamkan mata. Ia mengira itu hanya efek ngantuk atau mimpi. Tapi setiap malam, bayangan itu kembali, semakin jelas. Kadang terdengar suara bisikan, sangat pelan, seperti memanggil, “Tolong aku...”

Ia mencoba menyingkirkan cermin itu dari kamarnya, tapi tubuhnya seperti lumpuh setiap kali hendak memindahkannya. Ia hanya bisa menatapnya dengan tubuh gemetar, seolah cermin itu memegang kendali.

Ketika tak tahan lagi, Ayu pergi ke rumah sepupu neneknya, Bu Murni, yang tinggal tak jauh dari desa asal nenek. Dengan ragu, ia menceritakan semuanya. Wajah Bu Murni langsung pucat. Ia lalu membuka cerita yang selama ini disembunyikan keluarganya.

Dulu, nenek Ayu memiliki seorang adik perempuan bernama Ratri. Ratri jatuh cinta pada seorang lelaki yang menjanjikan akan menikahinya, namun ditinggal begitu saja saat diketahui hamil. Karena malu, keluarga mengurung Ratri di kamar dan tak mengizinkannya keluar, hingga ia melahirkan dalam keadaan sakit dan lemah. Suatu malam, Ratri ditemukan tewas bunuh diri di depan cermin kamarnya—cermin yang sekarang ada di kamar Ayu. Cermin itu kemudian disimpan oleh nenek Ayu dan tak pernah disentuh lagi sejak kejadian itu.

“Jiwa Ratri mungkin masih terjebak di dalam cermin itu,” kata Bu Murni dengan suara lirih. “Ia belum tenang.”

Malam itu, Ayu kembali ke rumah dengan perasaan tak tenang. Ia memberanikan diri berdiri di depan cermin. Bayangan Ratri muncul lebih jelas dari sebelumnya. Tapi kali ini, ia tidak hanya berdiri. Ia menatap langsung ke arah Ayu dengan mata kosong yang basah, lalu bibirnya bergerak.

“Tolong... anakku...”

Ayu menatapnya dengan tubuh menggigil. Di detik itu, ia merasa tubuhnya tersedot ke dalam cermin, namun tiba-tiba bayangan itu lenyap. Sejak malam itu, cermin itu tak lagi menunjukkan bayangan apa pun selain dirinya sendiri. Tapi Ayu tahu, pesan itu nyata.

Beberapa minggu kemudian, ia kembali ke desa dan menyelidiki catatan tua. Di belakang rumah neneknya, ia menemukan sebuah makam kecil tanpa nama, tersembunyi di balik semak-semak. Ia bersihkan makam itu, memasang batu nisan bertuliskan: "Ratri dan Putranya, yang Tak Pernah Disambut Dunia."

Sejak saat itu, malam-malam Ayu menjadi tenang. Tapi cermin itu tetap ia simpan—bukan sebagai hiasan, melainkan sebagai pengingat bahwa beberapa luka hanya bisa sembuh jika diingat dan diakui.

Post a Comment for " Bayangan di Balik Cermin Warisan"