Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ARISTOCLES

 By : Nuno Gusto

Perkenalanku dengan Aristocles terjadi saat kami membeli nasi goreng kambing di warung tenda, malam-malam. Benar-benar aku takjub dengan  namanya itu lho…ARISTOCLES.  Dia bukan filsuf atau keturunan orang Yunani. Dia anak desa yang ayahnya kebetulan lulusan filsafat dan mengidolakan sosok Aristocles. Aristocles adalah nama lain dari PLATO, filsuf terkenal asal Yunani.

Boleh jadi dia korban mimpi ayahnya. Nama besar Aristocles atau Plato dari Yunani, benar-benar membuat ayahnya terpincut untuk menamai anak sulungnya dengan harapan kelak menjadi tokoh besar juga.

Seperti juga para ayah lain yang mengidolakan pemain sepakbola dunia seperti Beckham, Buffon, Maldini dan lain-lain, lalu menamai anaknya seperti itu. Yach…hak setiap orangtua untuk menamai anaknya sesuai dengan impiannya. Mereka tidak menyadari bahwa nama besar yang dicomot itu menjadi beban yang ditanggung anaknya di masa depan, alih-alih menjadi pemacu semangat. Sebenarnya tidak salah juga sih  karena nama yang baik ibarat doa yang baik pula.

Setiap malam aku selalu nongkrong  di warung tenda itu. Menu yang ditawarkan banyak, enak dan murah. Aku suka nasi goreng kambing. Aku suka bumbunya yang kaya rasa dan aromanya khas. Aku tidak peduli kolesterol, asam urat dan penyakit-penyakit yang suka menghantui pelanggan warung malam. Aku hanya makan sekali dalam sehari. Aku pemilih makanan. Tidak semua makanan aku makan kalau tidak masuk seleraku. Aku hanya suka makan nasi padang dan nasi goreng kambing. Stt…aku selalu menyimpan simvastatin dalam saku bajuku, kalau kolesterolku naik! Tapi, akhir-akhir ini aku rajin makan buah. Orang tidak tahu kalau aku sarapan buah, makan siang buah dan malam baru makan nasi goreng kambing. Jadi, kesehatanku cukup terkendali. Bonusnya berat badanku mendekati ideal.

Kembali ke sosok kenalanku yang nama lengkapnya  Aristocles Putra Rahardja.  Dia lulusan SMA dan sedang gundah mencari pekerjaan. Kenapa tidak meneruskan kuliah? Jawabannya adalah lulusan sarjana tidak menjamin mendapatkan gaji layak. Bahkan banyak sarjana nganggur, katanya.

Aku generasi Z juga, usiaku mungkin sepantaran dengannya. Aku lulusan SMK Jurusan Teknik Komputer Jaringan alias TKJ. Setelah lulus aku sempat bekerja magang di sebuah CV yang bergerak di bidang jual beli komputer dan laptop dan teknologi informasi. Hanya setengah tahun aku bekerja di sana. Meski aku sempat dtawari menjadi pegawai tetap tetapi aku lebih memilih bekerja independen. Aku memilih berjualan ponsel dan laptop secara online serta  melayani jasa online lainnya  seperti pajak listrik , pajak PBB, transfer antar bank dan sejenisnya. Aku termasuk orang yang suka  bekerja tanpa terikat jam dan tekanan atasan. Aku adalah atasan sekaligus karyawan bagi diriku sendiri. Itu jiwaku, entah mengapa aku cocoknya seperti itu.

Mungkin karena merasa senasib sepenanggungan aku dan Aristocles  menjadi akrab. Kami saling curhat sebagai sesama Gen Z yang gundah akan masa depan. Aku dengan masalahku yang pelik dan Aristocles yang gundah dengan masalahnya yang cukup kompleks. Dia menceritakan hubungannya dengan seorang gadis yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Saat masih sekolah SMK gadis itu sangat perhatian., tapi setelah lulus gadis itu meninggalkannya.  Alasannya gadis itu hanya ingin pacaran dengan laki-laki yang bermasa depan cerah.

“ Apa kriteria laki-laki bermasa depan cerah? Sarjana?,”  Puihh! Aristocles melepeh ludahnya keras-keras.

Lalu aku gantian cerita.

“Aku adalah generasi sandwich, selain menanggung hidupku sendiri aku juga masih menanggung keuangan dua adikku yang masih SMP dan SD dan Ibuku. Usiaku  sudah mendekati duapuluh lima, masih tinggal dengan orangtua dan belum tahu kapan saatnya menikah. Boro-boro menikah, lha calon saja masih belum jelas, “ begitu kataku sambil tertawa kecut. Aku juga mengeluh bahwa gadis sekarang lebih suka uang daripada tampang.

Lalu gantian Aristocles bercerita .Sejak mantannya memutus hubungan Aristocles sadar bahwa dia harus mengatur ulang rencana hidupnya, yakni untuk kuliah filsafat seperti harapan ayahnya. Tetapi lagi-lagi mantannya itu menertawai dan mencibir: kenapa memilih kuliah filsafat? Mau jadi apa setelah lulus? Mau jadi Filsuf? Dosen? Kata mantannya  lagi saat ini orang Indonesia tidak butuh filsuf. Karena filsuf itu hanya bisa ngomong aneh-aneh, kata-katanya sulit dijangkau dan itu tidak relate dengan kondisi masyarakat saat ini. Masyarakat butuh realitas yang mudah dilihat dan dirasakan. Sembako dan uang , bukan teori dan kata-kata membingungkan. Orang tidak akan kenyang hanya dengan kata-kata..

Karena bingung dan merasa buntu, Aristocles tidak melakukan apapun. Dia suka bermalas-malasan di rumah, tidur, main game, nonton tiktok. Begitu terus yang dilakukannya. Orangtuanya yang buntu pikir, menyuruhnya keluar rumah sekedar bergaul agar mendapatkan pencerahan.

“Main keluar sana, jangan hanya di rumah terus. Siapa tahu dunia luar bisa membuatmu sadar dan bisa melupakan gadis bodoh yang meremehkanmu,” saran bapaknya.

Begitulah akhirnya kami bertemu dan bersahabat. Menurutnya aku masih beruntung karena sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan meski jumlahnya tidak tentu, setidaknya menurutnya, aku masih bekerja. Sementara dia masih berstatus pengangguran.

“Kamu, meski pengangguran orangtuamu kaya. Kamu tinggal minta pasti dikasih. Aku malah sebaliknya, “ kataku tertawa kecut.

“Hidupmu sudah bermanfaat. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat  bagi orang lain?” katanya dengan nada bertanya.

Aku tersenyum . Dia mengutip Sabda Rasulullah dalam Hadits Riwayat ath-Thabrani dengan baik.

“Apakah kamu sudah menemukan manfaat setelah keluar malam?” tanyaku.

“Setidaknya aku mendapat perspektif baru setelah berteman denganmu. Kamu contoh anak muda yang punya prinsip, tidak merokok dan peminum. kamu adalah manusia outentik,” pujinya tulus.

“Pilihan yang tidak sulit. Aku tidak punya duit untuk membeli rokok apalagi minuman beralkohol,” jawabku enteng.

Tidak setiap malam aku bertemu Aristocles. kami tidak pernah janjian untuk bertemu. Pertemuan kami terjadi secara random saja. Meski tak pernah semalam pun aku alpa makan  di warung itu, Aristocles rupanya sekarang memiliki kesibukan les bahasa Jepang seminggu tiga kali. Katanya sejak pertemuan kami itu, dia mulai berpikir dan serius untuk menata hidup. Kini dia berniat magang ke Jepang.

“Membuktikan pada seseorang yang pernah meremehkanku adalah motivasiku yang utama,”katanya berapi-api. Amarah yang masih terpelihara.

“Hidupmu bukan untuk satu dua orang yang sebenarnya tidak peduli padamu. Hidupmu adalah untuk dirimu sendiri. Motivasimu kurang tepat kawan,” kritikku.

Aristocles tidak mempedulikan  kritikanku. Aku jadi sedikit menyesal karena terlalu ikut campur dalam hidupnya. Siapa peduli dengan motivasinya pergi ke Jepang?

Tiga bulan berlalu, Aristocles sebentar lagi menyelesaikan kursusnya. Sekarang dia mulai icip-icip bergaya bak orang Jepang. Sedikit-sedikit memakai bahasa Jepang, suka nonton musik jepang dan nonton drama atau film jepang.

“Kalau aku sudah sukses di sana, kamu harus menyusul aku ya,” kata Aristocles.

“Kenapa harus?” tanyaku keheranan.

“Aku ingin temanku juga bisa sukses seperti aku,” katanya.

Aku senang-senang saja mendengar kata-katanya yang mulai terkesan optimis. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Menurut kabar dari penjual nasi goreng kambing Aristocles sudah berangkat ke Australia. Kok Australia?

“Ada saudara yang mengajaknya ke Australia. Katanya Australia lebih menjanjikan upah yang tingi dengan pekerjaan yang tidak terlalu berat. Upahnya dihitung per jam. Katanya sebulan bisa dapat duit limapuluh juta,” ujar penjual nasi goreng padaku.

Aku menyendok nasi goreng pelan-pelan. Perutku tiba-tiba merasa penuh, meski sejak sore tadi lapar luar biasa. Ada rasa iri melingkupi hatiku mendengar besarnya uang yang diterimanya dalam sebulan, jika cerita itu benar.

“Wah, setahun saja dia bisa bikin rumah di kampung ya,” kataku seperti menyindir diri sendiri yang belum juga melenting tinggi meski sudah mengumpulkan uang bertahun-tahun. Saldo rekeningku tidak seberapa.

“Tapi biaya hidup di sana kan juga besar,” celetuk seseorang di sampingku.

“Memangnya kerjanya apa?” tanya lainnya.

“Tidak tahu ,” sahut penjual nasi goreng.

Tiba-tiba handphone ku berdering kencang. ARISTOCLES! Dia menelponku.

“Halo Bro! Apa kabar?” tanyaku.

Penjual nasi goreng dan beberapa pengunjung yang sejak tadi ikut menyimak percakapan kami merapat untuk menguping.

“Halo!” sahutnya keras.

“Vicall..vicall!” teriak penjual nasi goreng.

“Kamu lagi dimana, Bro?!”tanyaku.

“Kamu di Australia, kan? Kota mana? LA?” tanya penjual nasi goreng.

“LA itu di Amerika, coy,” teriak seseorang di sebelahku.

Kami semua terbahak mendengar pertanyaan penjual nasi goreng itu.

“Bisa tolong aku? Bisa tolong aku?” kata Aristocles.

“Tolong apa, Bro?” tanyaku.

Tiba-tiba sambungan telepon dimatikan. Kami semua saling berpandangan. Tanda tanya besar mengusik  benak kami. Ada apa dengan Aristocles? Dimana dia sekarang? Benarkah di Australia? Kenapa meminta tolong? Kami menjadi gusar. Aku mencoba menelpon balik nomor itu. Tapi tidak bisa.

Sejak saat itu setiap malam aku selalu menantikan kabar dari Aristocles. Menurut cerita penjual nasi goreng yang telah menelisik ke rumah orangtua Aristocles, anak muda itu memang sudah berangkat ke ke Australia. 

“Kamu cerita tidak tentang permintaan tolong Aristocles padaku beberapa waktu lalu?” tanyaku pada penjual nasi goreng.

“Tidaklah…aku tidak berani cerita. Aku takut mereka mencemaskan Aristocles. Aku tidak tega melihat keceriaan orangtuanya saat menceritakan keberangkatan Aristocles ke Australia,” jawab penjual nasi goreng.

Satu tahun telah berlalu. Suatu malam aku melihat Aristocles muncul di warung nasi goreng untuk pertama kalinya. Wajahnya terlihat tirus, tubuhnya kurus, bajunya lusuh.

“Apa yang terjadi, Bro?” tanyaku.

“Bukankah kau ke Australia?”tanya penjual nasi goreng.

“Buatkan aku sup kaki kambing dan  semangkuk nasi . Aku lapar sekali,” katanya menghiba.

Penjual nasi goreng memberi kode istrinya untuk segera menyiapkan hidangan yang diminta Aristocles.

“Lanjutkan ceritamu, kawan,” ujar Penjual nasi goreng.

 “Aku pergi ke Australia lewat jalur laut bersama seseorang yang baru ku kenal beberapa minggu. Dia menjanjikan pekerjaan yang lebih bagus dengan gaji yang tinggi. Ternyata kapal yang kami tumpangi berisi para imigran gelap dari China. Kapal yang kami tumpangi terombang-ambing di lautan karena badai besar. Akhirnya kami terdampar di sebuah pulau kecil dekat Australia. Kami ditemukan petugas yang sedang patroli. Kami ditahan dan menjalani proses hukum beberapa bulan. Setelah bebas aku mencoba peruntungan bekerja di sana. Aku sempat bekerja di sana. Tapi, aku lagi-lagi terjerumus masuk dalam sindikat illegal. Aku seperti budak karena tidak punya surat-surat. Lagi-lagi aku tertangkap, hampir mati karena disekap. Aku akhirnya ditolong oleh seseorang yang baik hati, seorang warga Australia yang kasihan padaku. Dia terkesan dengan namaku, Aristocles. Dia juga bernama Aristocles, nenek moyangnya imigran dari Yunani. Akhirnya berkat pertolongannya aku bisa kembali ke sini,” katanya.

Semua terpana mendengar kisah Aristocles  yang luar biasa itu. Aku senang temanku kembali meski dalam kondisi seperti itu. Dunia benar-benar unik dan penuh cerita.

Post a Comment for "ARISTOCLES"