Bukan Menjaring Badai
By : Nuno Gusto
Sejak Ambar memutuskan untuk menjadi penulis, seluruh aset yang memudahkan urusan hidupnya diambil ayahnya. Kartu kredit, ATM tabungan, mobil bahkan motor telah ditarik kembali. Boleh dikata dia sekarang miskin. Totok, pacarnya bahkan ikut-ikutan memboikot hubungan. Totok lebih cinta uang dan fasilitas yang selama ini melekat pada diri Ambar sebagai anak orang kaya daripada sosok Ambar yang gigih pada cita-citanya menjadi penulis.
Maka, Ambar semakin menebalkan tekad untuk membuktikan pilihannya tidak salah. Sebagaimana kisah-kisah inspiratif yang dihembuskan para motivator nasional maupun internasional untuk mengejar passion demi kebahagiaan tertinggi, maka Ambar atas nama passion menempuh jalan tak mudah berjuang menjadi penulis.
Dia merasa sudah memenuhi keinginan orangtuanya saat memilih fakultas kedokteran umum. Setelah menempuh pendidikan yang menghabiskan waktu lebih dari tujuh tahun, Ambar mengantongi gelar dokter. Lembaran ijazah dan transkip nilai dia serahkan pada orangtuanya.
"Ma, Pa, kupersembahkan ijazah dan transkrip ini kepadamu. Terimalah. Kini saatnya aku melanjutkan hidup dengan pilihanku sendiri," ujar Ambar.
"Apa maksudmu?" tanya Ibunya dengan kaget. Bahkan ayahnya sampai harus dilarikan ke IGD karena mengalami sesak nafas berat karena shock.
Ambar seolah tidak peduli dengan kondisi orangtuanya. Dia pergi ke kota lain dengan sisa tabungan yang masih ada di rekeningnya. Ibunya menangis, membujuknya untuk tidak salah langkah. Apalagi bila sesuai rencana ssebentar lagi Ambar dan Totok akan segera menikah
Selama di kota lain itu Ambar mulai menulis. Menulis setiap hari. Dia percaya bahwa passion akan mampu menuntunnya menggapai kebahagiaan yang diimpikannya.
Sebuah buku berjudul "Menulis itu Gampang" menjadi bara api semangatnya untuk tetap menulis meskipun dalam hati dia tidak sepenuhnya percaya dengan judul buku yang provokatif dan dia memang terprofokasi oleh judul buku itu. Apakah hanya sesederhana itu? Tidak! Ambar gelisah, merasa tidak bahagia meski sudah bergelar dokter dan memiliki pacar yang berprofesi sebagai dokter juga.
Kegelisahan yang tidak dia mengerti. Dia merasa sepi ditengah-tengah keramaian. Dia merasa jengah melihat kemunafikan terjadi di sekitarnya. Dia merasa hanya melalui menulislah kegelisahannya bisa teratasi. Meski dia tahu bahwa menjadi penulis tidak mudah. Ibaratnya pendaki gunung yang tidak tahu medan pendakian, dia tahu tidak semua penulis menemukan yang dicari. Tidak semua buku yang ditulis akan menemukan pembacanya.
Setiap keputusan yang dibuat selalu memberi dampak dan konsekuensi. Orangtuanya menutup akses komunikasi sejak dia memutuskan sepihak pindah ke kota lain dan merintis nenjadi penulis. Satu-satunya orang yang masih mempedulikannya adalah adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya yang terpaksa mengikuti keinginan orangtuanya untuk kuliah kedokteran umum seperti dirinya. Bono, adiknya itu lebih manis dan sangat penurut. Sejak Ambar menolak praktek dokter, Bono yang baru lulus SMA dicekoki dengan doktrin-doktrin bahwa pentingnya menjadi anak sholeh yang ciri utamanya patuh pada orangtua. Buku bacaan Ambar telah disingkirkan dan dibakar, takut meracuni otak Bono hingga ingin keluar jalur dari impian orangtua.
Ambar lega Bono tidak mengeluh saat kuliah kedokteran umum. Mungkin saja dia memang menyukai menjadi dokter.
"Teruskan cita-cita Papa Mama, ya. Kamu pantas menjadi dokter, Bono," kata Ambar menasihati adiknya.
Di kota kecil itu ada perkumpulan penulis muda yang selalu berkumpul. Komunitas itu dipimpin oleh seorang penulis yang usianya sudah paruh baya. Dia penulis senior dengan karya-karya yang telah diakui. Ambar mendekatinya untuk belajar banyak padanya.
"Saya mohon Bapak mengajari saya bagaimana menyusun tulisan agar disukai pembaca. Saya sedang belajar membuat cerpen," kata Ambar.
Penulis paruh baya itu bernama Sam Garda, setidaknya itu nama penanya. Lelaki berperawakan sedang dengan hidung mancung dan mata yang tajam, menatap Ambar dengan keheranan.
"Aku bukan Bapakmu atau Pamanmu. Tidak ada ajar mengajari di komunitas ini. Semua harus berjuang sendiri untuk menemukan keberuntungannya sendiri," katanya ketus.
Ambar terkejut, dia tidak mengira Sam Garda tidak selembut kelihatannya. Saat berbicara di depan forum tadi begitu empuk dan enak di dengar. Hampir seluruh pidatonya berisi api semangat untuk mengajak audiennya tetap semangat berkarya. Saling membantu dan saling dukung, adalah jargon yang diucapkan tadi. Ah, bagaimana mungkin lelaki itu langsung berubah pikiran.
"Saya tidak mengira Bapak sekasar itu pada saya. Apa salah saya pada Bapak? Saya memang anggota baru di komunitas ini. Tolong jangan plonco saya," kata Ambar.
Hanya kesenyapan yang menjawab. Sam Garda mengalihkan perhatian pada sekelompok anak muda yang sedang berdiskusi seru. Mereka sekumpulan anak sastra yang sedang bekerjasama membuat novel untuk proyek kuliahnya.
"Ah, betapa sombongnya lelaki itu. Dia tidak tahu kalau aku bukan orang sembarangan. Dalam komunitas ini aku mungkin paling cupu, tapi aku seorang dokter. Aku doakan laki-laki itu sakit. Biar tahu rasa...," sungutnya.
"Saat menulis cerpen, carilah kata-kata yang tidak biasa, kisah tidak biasa, ungkapan tidak biasa. Cerita pendek yang memberikan keterkejutan cerita bagi pembacanya, pesan yang begitu kuat melekat dan unik meski ditampilkan dalam sebuah cerita yang tidak panjang," kata seorang lelaki yang memberikan petuah tanpa diminta Ambar. Rupanya lelaki itu memperhatikan kejadian sejak tadi.
Ambar tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada lelaki itu. Tetapi Ambar tidak membutuhkan nasihat dari orang yang tidak dikenalnya. Lelaki itu terlihat kumal denga rambut gondrong awut-awutan. Mukanya tirus dan terlihat tua meski usianya mungkin masih muda. Ambar bergeser pelan-pelan dan meninggalkan ruangan.
Mencari udara segar, Ambar pindah ke warung kecil di tepian jalan. Dia memesan es lemon tea saja. Tidak ada yang menarik untuk dimakan. Aneka gorengan masih hangat, tetapi tidak membuatnya tertarik mencomot. Baginya semua makanan itu tidak dibutuhkan tubuh, hanya berakhir menjadi sampah di usus.
Lelaki kumal dengan rambut gondrong awut-awutan itu masuk ke angkringan. Ugfh..dia lagi, keluh Ambar.
"Kopi hitam, bu. Gulanya sedikit saja," katanya pada penjual angkringan.
Laki-laki itu mencomot tape goreng sambil melempar senyum pada Ambar.
"Cobalah sepotong, tidak bikin kanker kok...he..he..," candanya.
Ambar hanya tersenyum. Ambar masih kuat imannya meski digoda untuk makan gorengan.
"Kamu anak baru, ya. Selamat datang di rimba raya dunia penulisan yang absurd," katanya sambil menghabiskan gorengannya.
Kopi pesanannya datang. Aroma kopi bercampur gula aren yang berenang dalam air panas yang direbus arang menusuk hidung Ambar. Ada rasa aneh membungkus hatinya. Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya saat nongkrong di kafe mahal langgananya. Kini dia harus berpikir ulang untuk mancari kafe termurah di kota ini, untuk sekedar menikmati secangkir capucino kesukaanya.
"Di sini juga ada capucino, tapi sachet," ujar lelaki itu menyeruput kopinya. Suara seruputannya begitu jelas, terasa nikmat.
Ambar mulai curiga orang asing yang baru dikenalnya itu memiliki kekuatan supranatural sehingga bisa membaca pikirannya.
"Kamu harus suka ngopi kalau mau jadi penulis beneran," kata laki-laki itu.
"Aku juga suka ngopi," jawab Ambar. Dia ingat terakhir ngopi bareng teman-temannya saat merayakan keberhasilan salah satu temannya yang diterima kerja di sebuah rumah sakit besar di ibukota. Ngopi di mall yang harga per cangkirnya sepuluh kali lipat dari kopi di angkringan ini.
"Kenapa ingin jadi penulis? Bukankah kamu seorang dokter yang seharusnya berkutat dengan pasien?"
Ah, lagi-lagi pria asing ini tahu banyak tentang dirinya. Ambar menjadi tidak dapat menahan diri.
"Kamu ini siapa, sih? Detektif yang disewa orangtuaku untuk membututiku?" tanya Ambar kesal.
Laki-laki itu tertawa kecil. Berdehem kecil sambil memperbaiki duduknya.
"Bukan...aku hanya salah satu peserta acara pertemuan komunitas Garda Pena pimpinan Sam Garda".
"Tapi kamu tahu banyak tentang diriku," sergah Ambar.
"Hanya kebetulan saja sih".
"Bohong! Kamu pasti orang suruhan Ayahku. Jangan harap aku mau balik ke rumah. Aku akan buktikan kalau aku bisa menggapai cita-citaku menjadi penulis".
***
Pertemuan komunitas Garda Pena berlangsung dua hari. Hari pertama sudah dijalani dengan cukup melelahkan. Setelah seharian pembekalan dari narasumber dan praktek membuat cerita pendek yang dilanjutkan sampai malam hari.
Keesokan harinya selesai sarapan diadakan outbound sampai jam sepuluh, dilanjutkan acara penutupan berupa pembacaan cerpen terbaik yang dibuat semalam.Acara berakhir setelah makan siang.
Ambar tidak menyangka lelaki yang kemarin ngobrol bersamanya di angkringan terpilih menjadi peserta dengan cerpen terbaik. Saat dia maju ke depan dan namanya disebut, Ambar terkesima, ternyata laki-laki itu lulusan arsitek dari salah satu universitas terbaik di negeri ini. Dia juga seorang arsitek yang masih aktif menggeluti dunia arsitektur. Ambar merasa kalah segalanya. Dia merasa bukan siapa-siapa di ruangan itu.
Saat makan laki-laki itu menghampirinya. Sekarang Ambar tahu namanya Abdi Birawa. Nama penanya Abe.
"Kenapa kamu membututi terus, Abe," kata Ambar kesal. Dia sengaja mengucapkan kata Abe dengan tekanan suara yang keras.
"Ah, untunglah aku dapat kesempatan menjadi juara kali ini. Jadi aku tidak perlu memperkenalkan diri. Aku tidak membututimu. Aku hanya melihat kamu makan sendirian. Sayang jika gadis secantik kamu makan sendirian. Jadi kalau kamu tidak keberatan ijinkan aku menemaniku makan siang. Ini pertemuan akhir dari komunitas Garda Pena tahun ini. Anda tidak keberatan, bukan Nona Ambar," katanya.
Sambil mengunyah makanan Ambar menatap tajam Abe. Mereka saling beradu pandang. Ada rasa aneh menusuk hatinya. Abe ternyata tidak sejelek kelihatannya. Kemarin dengan pakaian lusuh dan rambut gondrong yang dibiarkan tergerai seperti gelandangan lampu merah. Kini Abe sangat berbeda. Bajunya rapi dan bersih. Rambutnya dikucir, kumisnya dicukur habis, hanya meninggalkan rambut tipis di dagunya.
"Setelah acara ini kamu mau kemana?" tanya Abe.
"Entahlah. Mungkin kembali ke kost dan menulis," jawab Ambar.
"Kenapa tidak pulang ke rumahmu dulu. Aku pulang ke rumah, mengisi bahan bakar dulu".
"Maksudmu?"
"Aku sudah rindu keluargaku. Masakan Ibuku sangat enak. Kalau mau aku ajak kau ke rumahku".
Ambar menggeleng.
"Apa kata keluargamu kalau kau ajak aku kerumahmu".
"Paling kau dikira calon istriku".
"Jangan sembrono".
Kemudian datanglah Sam Garda menghampiri mereka berdua. Tanpa basa-basi lelaki paruh baya itu ikut makan di meja bundar itu.
"Boleh gabung, kan?" tanyanya.
"Boleh, silakan, Pak," jawab Ambar dan Abe bersamaan.
"Kau yang kemarin ingin belajar buat cerpen padaku ya?" tanya Sam Garda.
"Iya, tapi Bapak menolakku".
"Sekarang aku akan membantumu buat cerpen. Tapi syaratnya cukup berat".
"Apa?"
"Pulanglah ke rumah dan teruskan karirmu sebagai dokter".
"Bapak ngaco!" teriak Ambar.
Abe dan Sam Garda saling bertatapan. Tidak mengira perempuan cantik di depannya itu reaksinya berlebihan.
"Dengarkan dulu!" kata Sam Garda memelototinya.
Ambar menghela nafas untuk mengatasi situasi batinnya yang kesal.
"Terus terang aku merasa kasihan sama kamu. Sebagai penulis pemula kamu itu bodoh karena telah mengabaikan akarmu, tambang terbesar yang kau punyai kau tinggalkan, demi sebuah ego anak muda yang tidak punya pemikiran tajam dan jauh ke depan. Kamu tahu Abe, dia dulu juga persis seperti kamu. Lulusan arsitek yang menggebu-nggebu ingin jadi penulis. Lalu meninggalkan akarnya, meninggalkan sumber inspirasinya. Luntang-lantung hingga akhirnya jadi jongos di rumahku. Tolong kau ceritakan lagi, Be," kata Sam Garda sambil mengunyah makanannya.
"Intinya gini....Nona Ambar. Berkat didikan Pak Sam Garda ini, aku sadar bahwa untuk menjadi penulis tidak harus meninggalkan profesinya. Justru ketika kau menggeluti profesi itu kamu bisa menulis dengan latar belakang dan sudut pandang yang lebih luas dan unik. Sebagai arsitek aku masih bisa bekerja sesuai ilmu yang kudapatkan di universitas meskipun itu bukan pilihanku. Tapi tidak ada yang melarangku untuk menjadi penulis. Aku penulis yang nyambi menjadi arsitek. Gokil bukan?"
Ambar tidak berkata-kata lagi. Dalam hati dia membenarkan kata-kata Abe. Dia pun bisa menjadi penulis yang nyambi menjadi dokter. Itu juga gokil bukan?
"Kamu tidak rindu orangtuamu? Saat ini Ibumu sedang sakit memikirkanmu. Kembalilah ke rumahmu. Minta maaflah pada mereka. Setelah itu kamu urus ijin praktik doktermu dan menulislah. Menulislah apa saja. Satu tahun lagi datanglah ke pertemuan Garda Pena. Aku ingin melihat kemajuanmu," kata Sam Garda.
Ambar merasa kata-kata Sam Garda adalah sabda sang guru untuk muridnya. Dia menyetujui untuk menerima tantangan sang guru.
"Aku akan mengantarmu pulang. Jika diijinkan. Sebagai teman senasib seperjuangan," kata Abe.
"Kalian anak-anak muda yang hebat, berani menentang jalan hidup yang seolah diatur oleh orangtua kalian. Jangan pernah mengalah, tetaplah berjuang untuk menjadi dirimu sendiri meski harus berjuang seperti menjaring badai," kata Sam Garda.
Ambar pulang ke rumah dengan sebuah tanda tanya besar. apakah dia bisa menjaring badai seperti yang diucapkan Sam Garda. Dia tidak menjaring badai, tetapi menjaring mimpi. Jelas tidak mudah dan absurd. Tetapi seperti kata Abe kemarin, menjadi penulis adalah jalan yang tidak mudah, absurd dan membutuhkan keberuntungan.
Dalam perjalanan pulang ini Ambar merasa aneh harus diantar oleh seseorang yang tidak pernah masuk dalam pikirannya. Seorang arsitek yang menjadi penulis. Gaya bicaranya yang lugas dan tanpa beban mengindikasikan kalau otaknya lebih dari superior. Mungkin nilai IQ nya di atas 140. Abe tidak seperti Totok yang pendiam dan tidak suka memulai sesuatu. Selama ini Ambar yang selalu berinisiatif termasuk hubungan yang terjalin selama ini.
"Aku suka melakukan perjalanan dengan kereta. Tenang dan santai. Aku bisa menghabiskan waktu membaca buku atau menulis," kata Abe.
"Aku ingat kisah J.K. Rowling yang mendapatkan inspirasi menulis Harry Potter saat naik kereta api dalam perjalananya dari Manchester ke London. Selalu ada kisah yang bisa ditulis dari sebuah perjalanan," sahut Ambar.
"Sejak kecil aku suka naik kereta api. Dulu kondisi kereta api belum sebagus sekarang. Aku masih mengalami naik kereta api berdesak-desakan dengan sesama penumpang. Setelah aku menginjak usia remaja naik kereta mulai nyaman. Infrastruktur diperbaiki, insan perkeretapaian juga diperbaiki. Semua disentuh bahkan sampai potter dan pedagang asongan yang terlibat yang hidup dari kereta api," kata Abe.
"Jonan. Dia yang mengubah wajah perkeretaapian Indonesia menjadi seperti sekarang ini. Dia sangat inspiratif," ujar Ambar.
Abe memandang Ambar cukup lama, membuat gadis itu tersipu dan tidak nyaman. Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan menengok ke arah jendela. Nampak hamparan sawah yang mengering menyisakan rumput-rumput liar yang bertumbuh subur. Musim kemarau yang panjang menyisakan kepedihan bagi petani yang harus beralih pekerjaan lain untuk menyambung hidup.
"Kita masih beruntung masih diberi pilihan untuk mengais rejeki. Lihatlah mereka yang tidak memiliki pilihan selain bekerja serabutan asal bisa makan. Saat kemarau panjang seperti ini banyak pemilik atau penggarap lahan mencari pekerjaan ke kota," kata Abe.
Ambar membenarkan ucapan Abe. Dia tetap memandang luar jendela kereta yang semakin kering, bukit-bukit yang tidak lagi menghijau karena pohon-pohonnya meranggas. Ambar tidak sabar lagi untuk sampai ke rumahnya. Bersujud di kaki ibu dan ayahnya, memohon maaf atas segala ketergesaannya dalam mengambil keputusan. Dia juga sudah tidak sabar lagi untuk mengurus ijin prakteknya dan memulai segalanya dari ruang praktek dan menulis.
***
Sementara itu di tempat lain, Sam Garda sedang menerima telpon dari ayah Ambar.
"Aman terkendali, Pak. Saya sudah berhasil mengirim putri Bapak kembali ke pangkuan Bapak dan Ibu. Saya yakin dia akan sukses menjadi dokter sekaligus penulis," ujar Sam Garda dalam hubungan telepon dengan Ayah Ambar.
"Terima kasih, Pak Sam Garda. Saya tidak akan melupakan jasa-jasa Bapak. Untuk acara-acara komunitas Garda Pena selanjutnya saya siap memfasilitasi. Bapak jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya," kata Ayah Ambar.
Apa yang tidak bisa dilakukan oleh pengusaha tajir seperti ayah Ambar. Jangkauan kekuasaannya luas karena uang selalu menang. Ayah Ambar selalu yakin dengan setiap keputusan yang diambil. Bahkan seniman sekaliber Sam Garda telah berhasil menjadi teman bisnis yang menguntungkan. Pada masa-masa mendatang dia akan menjadi investor untuk film yang digarap Sam Garda dan timnya.

Post a Comment for "Bukan Menjaring Badai"