Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Roti Kukus Buatan Ibu


By : Nuno Gusto

Tahun 1989

Cerita ini sudah sangat lama, tetapi rasanya masih membekas hingga sekarang. Sebuah cerita yang tidak akan hilang dalam ingatan, bahkan abadi sampai kapanpun.

Sebuah cerita tentang anak berusia 10 tahun, kelas lima sekolah dasar. Dia memasuki masa puber yang menurutnya terlalu cepat. Teman-temannya masih begitu kecil dan polos. Memakai baju dan celana seenaknya, tidak ada kecanggungan. Tetapi tidak untuk Intan. Dia tidak sebebas anak-anak itu. Entah mengapa dia dewasa lebih cepat. Maka ketika dia tidak shalat, banyak teman-temannya mengatainya murtad. Seandainya dia bilang kalau tidak shalat karena menstruasi, mereka pasti akan mengolok-oloknya. Mengapa anak sekecil itu sudah menstruasi? Intan juga mulai membatasi pergaulan dengan teman-temannya yang laki-laki. Semenjak dia puber ada perasaan aneh melingkupinya saat menatap teman laki-lakinya.

Duta, salah seorang teman sekolah yang sangat disukainya. Laki-laki kecil berkaca mata, pendiam tetapi sangat pandai dan tidak pernah jahil. Intan suka menatap Duta dari kejauhan saat Duta sedang asyik membaca buku sendirian di bawah pohon trembesi saat istirahat sekolah atau mencuri pandang saat serius mengerjakan matematika di kelas. Duta sangat keren. Kulitnya putih bersih, rambutnya ikal kemerahan, hidungnya mancung dan sorot matanya teduh tidak jelalatan seperti teman laki-laki lainnya. Sebagai anak seorang guru, dia dididik untuk menjadi anak yang santun, tidak seperti dirnya dan teman-teman sebayanya yang kebanyakan hanya anak petani, buruh serabutan atau pedagang kecil.

Intan hidup bersama orangtuanya di sebuah desa yang permai. Hamparan sawah subur dan sebuah sungai besar membelah desa, memberikan banyak cerita kehidupan bagi warganya. Bapak Intan hanya petani dengan sepetak sawah garapan, sedangkan ibunya membuka warung kecil di depan rumahnya. Meskipun kecil segala barang dijual, mulai dari sembako sampai makanan jadi. Ibu Intan pandai memasak. Pecel, plencing, bakmi goreng, ketoprak dibuatnya. Makanan buatan ibunya selalu habis tak bersisa, selain enak harganya murah. Ibunya tidak pernah mengambil untung besar, karena tahu sebagian besar tetangganya juga bukan orang berkecukupan.

Intan bukan anak tunggal, dia masih memiliki tiga kakak yang sudah merantau ke kota Ibukota. Ketiga kakaknya semua laki-laki. Setelah lulus sekolah dasar ketiga kakaknya pergi ke Jakarta. Entah apa yang dilakukan di sana, tetapi Intan tahu satu hal bahwa mereka pergi ke kota karena tidak mau menjadi petani penggarap seperti ayahnya.

“Aku akan membeli banyak sawah suatu saat nanti,”  janji kakak sulungnya dulu saat memijit kaki ayahnya yang kecapekan setelah seharian memperbaiki pematang sawah.

Ayahnya mengamini dalam hati. Rasa haru menyelimuti perasaanya. Ayahnya merasa bersalah karena hanya  mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai sekolah dasar saja. Mimpi anaknya ibarat Si Cebol merindukan bulan. Tetapi ayahnya tidak mau memberangus mimpi mulia anak sulungnya itu. Dia hanya diam tetapi dalam hati mendoakan. Dia berharap semesta akan mendukung mimpi mulia anaknya.

Salah satu tetangga terbaik menurut Intan adalah keluarga Duta. Pak Subagyo, ayah Duta adalah seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama negeri  di kota kecamatan. Sedangkan Ibu Srikanti, ibu Duta adalah seorang guru sekolah dasar negeri di Rejosari. Duta anak terakhir dari tiga bersaudara. Kakak pertama Duta bernama Ningsih kuliah di fakultas kedokteran sebuah universitas negeri dan bergengsi di Jogya, sedangkan Handoko kakak kedua Duta masih duduk di kelas tiga sebuah SMA negeri di kota yang sama.

Orangtua Duta adalah tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati penduduk desa Rejosari. Pada jaman itu  strata sosial masyarakat  masih  terkotak-kotak dan kaku. Sebagai pegawai negeri Pak Subagyo dan Ibu Srikanti menduduki strata sosial yang tinggi. Mereka menjadi panutan dan tempat bertanya yang sangat dipercaya, apalagi mereka berdua masih keturunan ningrat yang bergelar raden. Hanya saja mereka tidak pernah menonjolkan kenigratannya.

Intan dan teman-teman sebayanya suka bermain di pekarangan rumah Duta yang luas dan asri. Pagar tebal setinggih  pinggang orang dewasa  memang memisahkan antara rumah Duta dengan rumah tetangga. Namun tidak menghalangi anak-anak  bermain di sana. Pekarangan depan dan samping banyak ditumbuhi bunga dan buah-buahann. Halaman belakang yang luas di cor untuk menjemur  hasil panen seperti padi dan palawija. Sawah Pak Subgyo banyak sehingga hasil panen selalu ada  sepanjang musim.

Namun sejak Intan akil baliq, dia tak lagi datang bermain ke sana. Dia sangat malu bertemu Duta, meski teman sekelasnya itu tak pernah memperhatikannya. Duta lebih suka bermain dengan anak laki-laki lain. Bermain kelereng dan layangan menjadi kesukaan mereka. Terkadang jika bosan mereka akan mencari ikan dan udang di sungai dengan jarring yang dipasang bambu di tepiannya. Jika musim hujan Duta akan ikut mencari belut di sawah.

Suatu hari Ningsih pulang dari Jogja dan datang ke rumah Intan untuk membeli pecel dan baceman.

“Kemana Simbok, Tan?” tanya Ningsih sambil menengok kiri kanan. Hanya Intan yang menjaga warung.

“Simbok sedang di belakang, Mbak. Mengambil termos untuk membuat bumbu pecel. Ini pecelnya baru masak,” jawab Intan. Simbok adalah sebutan untuk Ibu bagi kalangan masyarakat bawah semacam Intan untuk memanggil ibunya.

Simbok muncul dari ruang dapur membawa termos dan sebakul baceman tempe dan tahu.  Wajahnya tersenyum sumringah menyambut pelanggan pertama hari itu.

“Tolong bungkuskan sepuluh  bakmi pecel dan dua puluh biji baceman ya, Bi,” kata Ningsih

Simbok sudah hapal dengan permintaan pecel dan baceman yang cukup banyak itu, selain untuk keluarga Bagyo juga dibagikan kepada para pekerja yang sedang menjemur padi.

“Kamu sekarang jarang main ke rumah, Tan, kenapa?” tanya Ningsih.

Intan tersenyum tersipu untuk menutupi kegugupannya. Tidak mungkin dia akan bercerita hal yang sangat pribadi di depan Simbok. Tidak ada seorangpun yang tahu kalau dia sudah akil baliq.

“Nggak apa-apa sih,Mbak,” jawab Intan.

“Datanglah ke rumah nanti sore sekitar jam lima ya,  Aku mau minta tolong,” pinta Ningsih.

Sorenya Intan datang ke rumah Pak Bagyo. Teras depan sangat sepi, meski suara lantunan lagu Nicky Astria berjudul  Cinta di Kota Tua sayup-sayup terdengar dari dalam  rumah.

“Masuk saja, Tan!” Ningsih dari balik jendela. Rupanya dia sudah mengamatinya sejak tadi.

Intan segera masuk ke rumah. Suara nyanyian Nicky Astria masih melengking berasal dari kamar Ningsih. Ruang tamu sangat bagus dengan wangi semerbak sebuket bunga mawar segar. sementara  akuarium besar di sudut ruangan. Foto-foto keluarga dipanjang dengan gagahnya. Intan semakin merasa kecil. Satu-satunya gambar yang menempel di dinding ruang tamu  rumahnya adalah gambar Rano Karno dan Lydia Kandau. Ufhh…bahkan mereka itu artis bukan keluarga! Intan berharap suatu saat kelak keluarganya memiliki kesempatan untuk berfoto bersama dengan baju bagus.

Kamar Ningsih sangat luas dan bagus. Dipan tinggi dari besi yang dipasangi kelambu warna hijau muda. Spreinya bergambar bunga lili, bantal dan gulingnya tertata rapi, selimut beludru terlipat di sudut dipan.  Dinding kamar Ningsih penuh tempelan. Ada foto semasa Ningsih sekolah dasar hingga masa kuliah, foto keluarga dengan ukuran lebih kecil seperti yang dipampang di ruang tamu, kata-kata motivasi dari tokoh dunia dan gambar anatomi tubuh manusia. Meja belajarnya dipenuhi buku-buku tebal, lemari bajunya terbuka separuh pintunya. Terlihat baju-baju bagus tersimpan di sana. Intan teringat beberapa bajunya adalah baju bekas dari  Ningsih yang masih bagus. Dia senang memakai baju bekas  Ningsih. Dia berharap bisa seperti  Ningsih suatu saat kelak.

“Bantu Mbak merekap isi kuesioner ini ke kertas ini, ya. Ini hasil penelitian Mbak Ningsih. Intan harus cermat dalam merekapnya ya”.

“Untuk apa ini mbak?”

“Ini penelitian skripsi Mbak Ningsih. Skripsi ini nantinya menjadi syarat agar aku bisa wisuda dan menjadi dokter muda”.

“Wah…sebentar lagi Mbak Ningsih bergelar dokter,” kata Intan senang.

“Belum sepenuhnya. Setelah lulus Mbak Ningsih harus mengikuti koas dulu selama paling tidak dua tahun. Setelah itu baru deh bisa praktek”.

Intan sangat senang menjadi bagian dari rencana masa depan Ningsih. Dia sangat cermat dan berhati-hati merekap kuesioner. Tetapi sayangnya baru separuh dia merekap matanya sudah mengantuk. k Ningsih menyuruhnya pulang dan meneruskannya kembali esok sore.

Tiga bulan kemudian Ningsih mengikuti wisuda. Intan diajak keluarga Pak Bagyo atas permintaan Ningsih. Pengalaman menyaksikan wisuda sangat membekas di hati Intan. Diam-diam Intan ingin menjadi dokter.

Selama Ningsih mengikuti koas, Intan selalau main ke rumah Pak Bagyo. Melakukan apapun, membantu apapun meski tanpa diminta.

Suatu ketika saat hari libur, Intan membantu menyapu di rumah Pak Bagyo. Saat membersihkan kamar Handoko, Intan menemukan sebuah novel tebal berjudul Kisah Sang Mata-Mata.  Buku itu dibacanya beberapa lembar, kemudian dibawa pulang tanpa meminta ijin dulu pada  Handoko. Buku itu dibaca sampai tamat dan dibiarkan tersimpan di tumpukan buku pelajarannya.

Suatu ketika Handoko dan Duta sedang main catur di teras saat Intan datang. Hati Intan tidak karuan melihat kedua kakak beradik itu. Mas Handoko lebih tampan dari Duta, kumisnya mulai tumbuh, tubuhnya kekar. Dalam satu kesempatan Handoko melirik Intan yang baru datang.

“Hei…Tan…bisa main catur tidak?” tanya Handoko.

Intan menggeleng. Dia menunduk malu. Jantungnya berdebar. Dalam hati Intan mengutuk diri atas perasaan aneh yang tidak dipahaminya ini. Cepat-cepat Intan masuk ke dalam rumah. Hari ini dia akan membantu Bu Srikanti membuat roti kukus.

“Aihhhh….nih Bocah Ayu sudah datang….,” seru Bu Srikanti menyambutnya.

“Maaf, Bu, menunggu lama ya. Tadi saya membantu Simbok dulu membuat bumbu pecel,” ujar Intan sambil mencium tangan Bu Srikanti.

“Kamu rupanya yang membuat bumbu pecel, ya. Pantesan pecel simbokmu itu rasanya paling enak. Apalagi bacemannya. Makanya aku minta kamu untuk membantu Ibu membuat roti kukus. Hari ini kita akan membuat roti kukus untuk dibagikan kepada para tetangga. Besok ulang tahun Mas Handoko, dia minta dibuatkan roti kukus. Kesukaannya sejak kecil roti kukus. Besok jangan lupa kesini lagi ya. Kita makan-makan di sini. Besok menunya ayam panggang,” kata Bu Srikanti.

Baru pertama kali Intan melihat proses membuat roti kukus. Bu Srikanti sangat pandai memasak terutama membuat roti dan kue.

“Untuk membuat roti kukus yang lembut dan lezat tidak sembarangan memilih tepung terigunya. Harus memilih tepung terigu yang berprotein sedang. Campuran lainnya juga harus tepat agar tidak bantat. Kamu suka isian apa? Coklat, kacang hijau, kacang merah, atau daging?” tanya Bu Srikanti.

“Eh…saya belum pernah makan roti kukus, Bu, Jadi isian apa saja saya pasti suka. Apalagi yang membuat Ibu,” kata Intan tersipu.

Bu Srikanti tertawa mendengar jawaban Intan yang menurutnya sangat bagus, melebihi kemampuan berkomunikasi anak seusianya.

“Apakah boleh saya meminta resep roti kukus dari Ibu? Saya juga ingin mencoba membuatnya di rumah,” kata Intan malu-malu.

“Tentu saja Ibu akan kasih”.

Ulang tahun Handoko berlangsung meriah. Semua teman-teman sekelasnya datang dari Yogyakarta. Satu bus penuh. Intan terbelalak melihat betapa terkenalnya Handoko dikalangan teman-temannya. Mereka menginap di rumah besar itu. Sebagian tidur di dalam rumah, sebagian membuat tenda di halaman depan. Rumah itu menjadi arena perkemahan yang sempurna. Api unggun dinyalakan, bebakaran beraneka ragam disajikan. Selain ayam panggang, ikan bakar, jagung bakar dan tidak lupa roti kukus yang baru juga disajikan. Minuman dingin dari coca cola berbotol-botol dihidangkan.

Intan membantu menyiapkan hidangan sampai acara benar-benar selesai. Dia mendengar celetukan teman-teman wanita Handoko yang memuji-muji acara ulang tahun yang menurut mereka sangat meriah.

“Ayo, siapa yang berani memacari Handoko?!” tantang seorang gadis berwajah oriental.

“Clara…kamu punya modal buat nempel Handoko. Kalian nih sepadan. Kaya dan pintarnya sama. Apalagi,” kata Tiwik memprovokasi.

Clara, gadis blasteran Jawa Perancis itu hanya tersenyum-senyum saja.

“Ah,….jangan-jangan kamu sudah pacarana sama Handoko,” kata yang lain.

Intan menatap Clara yang tanpa basa-basi menegak coca cola langsung dari botol sampai tandas. Intan mengagumi betapa kerennya gadis itu. Dia memang cocok dengan Mas Handoko, kata Intan dalam hati.

Sementara itu di meja yang berbeda, Handoko dan kawan-kawan lelakinya bersenda gurau. Beni, salah seorang teman Handoko membawa rokok di balik jaketnya. Dia dengan sangat hati-hati mengeluarkan rokok itu dan ditawarkan kepada teman-temannya.

“Bodoh…kamu…mau merokok di sini? Bisa-bisa Bapakku mengusirmu,” ujar Handoko.

“Ah, Bapakmu sudah tidur. Ini sudah hampir jam 10 malam,” ujar Beni

“Ah…kamu cari masalah saja, Beni. Sudahlah masukkan lagi rokokmu ke saku,” ujar Ketua Kelas.

“Eh…ngomong-ngomong…Kisah Sang Mata-mata yang kupinjamkan minggu lalu sudah selesai belum kamu baca?” tanya Rico si pemilik buku.

“Belum selesai,” jawab Handoko.

“Waduh…aku mau baca juga tuh novel. Katanya isinya bagus banget. Bisa bikin kamu segera dewasa!”

“Novel porno, ya? Waduh…kamu suka novel stensilan juga rupanya,” ujar lainnya.

“Coba ambil kemari novel itu,” kata Rico.

Handoko masuk ke dalam kamar. Intan yang mendengar percakapan itu berdebar-debar. Dia baru ingat kalau novel itu masih tertinggal di kamar rumahnya.

“Tidak ada,” seru Handoko.

“TIdak ada bagaimana?!” tanya Rico dengan nada tinggi

“Mungkin sudah kukembalikan padamu. Tapi kamu lupa”.

“Ah…belum…kamu belum mengembalikan”.

“Sudah..”.

“Belum”.

“Ah….kawanku…apaan sih kalian berdua ini. Sudahlah malam ini jangan rusak suasana pesta ulang tahun Handoko. Sebagai tamu kita harus sopan dan menghargai tuan rumah. Untuk masalah buku novel itu bisa dibicarakan lain waktu, bukan? Kalaupun hilang bisa kan beli lagi,” kata Ketua kelas menghentikan perdebatan.

Pukul sebelas malam Intan pulang ke rumahnya menenteng tas kain berisi sisa pesta ulang tahun Handoko: ayam panggang utuh lengkap sambal terasi dan tiga buah mentimun utuh untuk lalapan, sekotak roti kukus dan lima kaleng coca cola. Rumahnya tidak jauh dari rumah Pak Subagyo.

"Pulanglah mumpung belum terlalu larut. Kamu berani kan pulang sendiri? Kalau tidak berani biar diantar Bapak," kata Bu Srikanti.

Tetapi intan lebih suka pulang tak diantar. Sesampai rumah Bapak dan Simbok belum tidur, mereka sedang mencetak gula nira ke batok-batok kelapa. Besok setelah mengeras gula itu akan dijual di warung.

" Bagaimana pestanya?" tanya simbok.

"Meriah. Oya…Bu Sri memberiku ayam panggang dan roti kukus," jawab Intan sambil meletakkan tas kain itu di atas meja.

" Simpan dalam tudung saji, besok pagi dipanasi buat sarapan," perintah Simbok.

Sejak malam itu Intan gelisah dan merasa bersalah telah mengambil buku novel itu tanpa ijin. Tidak mungkin baginya untuk berterus terang pada Handoko yang pasti akan memarahinya. Tetapi yang lebih membuatnya kaget novel itu sebenarmya novel porno. Pada beberapa halaman memang ada cerita yang tidak dipahami, selebihnya ceritanya seru karena aksi petualangan Sang Mata-Mata Amerika Serikat di Uni Sovyet.

Kegelisahannya tidak hilang meski sudah berganti hari bahkan minggu. Novel itu tak berani disentuhnya, apalagi dikembalikan. Intan tidak berani datang ke rumah Pak Subagyo, meski Su srikanti yang menyuruhnya.

"Mainlah ke rumah," ajak Bu Srikanti saat berbelanja ke warung simbok.

" Besok saja kalau Mbak Ningsih pulang," jawab Intan.

"Ningsih pulangnya masih lama. Mungkin tiga bulan lagi. Dia hanya pulang kalau benar-benar sudah kangen. Dia sangat bersemangat praktek koas di Rumah Sakit Purworejo," cerita Bu Srikanti dengan bangga.

Semua orang di desa Rejosari sangat bangga dengan keluarga Bu Srikanti, karena dari desa kecil itu nantinya  lahir seorang dokter hebat.

Tiga bulan berlalu. Selama itu pula Intan benar-benar tidak pernah datang ke rumah Bu Srikanti. Dia lebih murung, suka merenung dalam kamar. Bahkan saat membantu simbok memasak pecel atau baceman.

"Kamu lebih kurusan dan pendiam, ada apa?" tanya Simbok.

Intan hanya menggeleng.

"Kangen sama Mbak Ningsih?" tanya Simbok lagi.

Intan lagi-lagi tidak menjawab. Tangannya sibuk menumbuk kacang untuk saus pecel.Beberapa butir bawang, gula jawa, daun jeruk purut, cabe, garam dicampur, lalu ditumbuk lagi.

"Besok Mbak Ningsih pulang kata Bu Srikanti," kata Simbok.

"Iya, Mbok".

" Kamu masih kecil jangan suka bersedih hati. Anak-anak itu harusnya gembira," kata Simbok.

Intan hanya diam saja, dia sibuk mengetes rasa saus kacang yang dibuatnya.

"Bagaimana rasanya, Mbok?" tanyanya sambil mengulurkan sepucuk sendok bumbu berisi saus kacang.

Simbok mengunyah pelan. "Sudah dikasih asam jawa?"

"Belum".

"Kasih lima biji. Tambahkan sedikit garam juga ya. Segini garamnya," kata Simbok sambil menyatukan jempol dan telunjuk tangannya.

Ketika Ningsih benar-benar pulang, Intan tidak sabar menemuinya. Gadis kecil itu memeluk Ningsih selayaknya adik yang merindukan kakak perempuannya.

"Kau kangen sekali,ya?" Kata Ningsih terharu.

"Kenapa Mbak Ningsih lama sekali tidak pulang. Besok kalau sudah selesai koas dan jadi dokter penuh jangan-jangan kita semakin jarang bertemu," isaknya.

" Heh...kok nangis segala. Ada apa? Kamu seperti punya beban berat".

 "Mbak, aku sudah berdosa".

"Dosa?"

"Iya, karena berdosa lalu Tuhan memberi hukuman".

"Ah...ngelantur kamu. Kamu anak baik dan manis, bagaimana mungkin bisa berbuat dosa dan Tuhan pasti tidak tega menghukum kamu".

"Saya hamil".

"Ah...kamu jangan ngaco! Memangnya kamu sudah menstruasi?"

"Sudah. Awal tahun ajaran baru setengah tahun yang lalu saya sudah mens".

"Simbok sudah tahu kalau kamu sudah mengalami menstruasi?"

"Saya malu untuk bercerita ke Simbok. Tidak seorang pun yang saya beri tahu. Saya malu, pasti diolok-olok teman-teman. Semua teman sabayaku belum ada yang mens".

"Terus masalah hamil tadi, bagaimana kamu tahu kalau hamil?"

"Saya sudah tidak menstruasi beberapa bulan ini".

"Apakah kamu punya pacar?"

"Pacar? Ah, Mbak Ningsih ini ada-ada saja. Tentu saja saya belum punya".

"Terus bagaimana kamu bisa hamil? Untuk bisa hamil harus terjadi...ah...sudahlah...kamu masih terlalu kecil".

"Inilah keanehan itu, Mbak. Saya tidak pernah berduaan dengan laki-laki. Bahkan dengan Bapak saja pasti selalu ada Simbok. Saya memegang Bapak saja kalau lagi memijit kaki dan punggungnya".

Ningsih tersenyum mendengar penjelasan polos dari Intan.

"Apakah karena saya berbuat dosa lalu Tuhan menghukum saya?"

"Dosa apa yang kamu lakukan?"

" Saya sudah membaca novel porno," kata intan sambil mengeluarkan novel berjudul Kisah Sang Mata-Mata dari dalam tas.

Ningsih terkejut melihat novel tebal itu.

"Kamu sudah membaca semua isi ceritanya?"

"Sudah".

"Ceritakan!"

"Saya hanya ingat cerita seru tentang seorang mata-mata Amerika Serikat yang ditugaskan negaranya untuk mengungkap kasus penjualan senjata ilegal ke Uni Sovyet".

"Hanya itu?"

"Beberapa cerita saya tidak paham.saya membaca begitu cepat".

"Yach...ini memang novel dewasa, seharusnya kamu tidak boleh membacanya".

"Saya hanya meminjam".

"Pinjam siapa?"

 "Mas Handoko".

"Handoko meminjamkanya?"

"Sebenarnya saya meminjam tanpa meminta ijin..waktu itu saya sedang menyapu di kamar Mas Handoko..saya lihat novel itu tergeletak di meja. Judulnya sangat menarik jadi saya ambil begitu saja".

"Kenapa novelnya tidak kamu kembalikan?"

"Saya takut dimarahi Mas Handoko".

"Kamu tahu dari mana kalau itu novel porno?".

"Teman Mas Handoko yang bilang".

Ningsih diam sesaat.Dia sedang menata kalimat yang tepat untuk teman kecil di depannya. Kendala yang dihadapi Intan mungkin juga dialami anak-anak seusianya adalah pendidikan seks usia dini belum pernah diberikan, dan saat itu dinilai masih tabu.

"Untuk anak seusiamu memang wajar menstruasinya belum teratur. Bahkan ada yang jarak menstruasinya sampai berbulan-bulan. Apalagi kamu merasa bersalah telah membaca novel dewasa ini. Rasa takut berdosa dan takut dimarahi Handoko juga membuat hormonmu tidak stabil".

"Jadi bukan karena saya hamil?"

"Tentu saja bukan".

Intan sekali lagi memeluk Ningsih, kali ini sangat erat. Hatinya sangat plong.

***

Tahun 2024

Suara kecipak air dari kolam renang yang memercik ke wajah Intan, membuatnya  tersadar dari lamunannya. Anak-anak dan suaminya  masih asyik berenang dengan gembira.

"Kamu tidak ingin berenang?" tanya suaminya.

"Ah, tidak. Aku sudah cukup lelah menyiapkan hidangan hari ini. Oya…kalian  sudah terlalu lama berenang, sebaiknya segera naik ke atas. Aku akan siapkan makan siang".

"Kamu buat roti kukus, bukan?"

"Tentu saja, roti kukus dengan isian daging sapi kesukaanmu".

"Sore nanti Bapak dan Ibu akan berkunjung kemari. Ah.. anak-anak tidak sabar menunggu kedatangan mereka".

"Aku juga. Aku sudah menyiapkan masakan kesukaan Bapak dan Ibu, baceman dan pecel".

Intan masuk ke dalam rumah. Saat melintasi ruang keluarga sekilas pandangannya terpaku pada foto keluarga kecilnya. Dia masih tidak percaya kalau Handoko kini telah menjadi suaminya dan memberinya dua anak yang kini sudah tumbuh remaja. Sebuah perjalanan hidup yang berliku dan panjang. Meski terpaut usia cukup jauh Handoko diam-diam mengamati Intan yang sering membantu Ibu Srikanti membersihkan rumah. Hal yang sangat mengesankan adalah kemampuan Intan membuat roti kukus selezat  Bu Srikanti. Maka ketika Intan lulus SMA dan Handoko sudah bekerja mapan tanpa ragu dia mengutarakan keinginannya untuk memperistri Intan. Bagi Bapak Subagyo dan Bu Srikanti Intan adalah menantu idaman, selagi Duta mengejar mimpi sekolah di luar negeri dan Ningsih menjadi dokter di rumah sakit kota. Mereka berdua yakin saat pensiun nanti akan berlabuh pada tempat dan orang yang tepat untuk menghabiskan sisa umur tanpa takut kesepian dan terlantar.

Post a Comment for " Roti Kukus Buatan Ibu"