Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bahagia Itu (Tidak) Sederhana

 By : Nuno Gusto


Seseorang berkata  bahagia itu sederhana. Kalian percaya?  

Aqila tidak percaya. Aqila adalah temanku yang sedang mencari validasi bahwa pendapatnya soal kebahagiaan itu tidak sesimpel kedengarannya. Memang sih secara arti harfiah kebahagiaan adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram ,bebas dari segala hal yang menyusahkan. Dia setuju dengan definisi itu. Tetapi untuk mencapai kebahagiaan, bagaimana caranya? Apakah untuk mencapai bahagia itu mudah?

Aqila benci kalau mendengar orang yang terlalu gampang menaruh perasaan bahagia dengan hal-hal yang remeh temeh. Ketika aku memposting status di whatsapp bahwa hanya dengan semangkok mie ayam kebahagiaan itu bisa di raih, sementara di luar sana ada orang dengan sekilo emas permata masih merasa kekurangan dan tidak puas hati.

Dia bilang,”Hei, kamu ini terlalu menggampangkan sesuatu. Mana bisa semangkok mie ayam dibandingkan sekilo emas permata?”.

Aku hanya melengos, tertawa saja mendengar protesnya. Batinku bilang, ”suka-suka aku dong”. Tetapi untuk Aqila yang sangat manis dan rupawan aku tidak bisa berkata sembarangan. Aku tidak tega melihatnya cemberut dan merasa diabaikan.

“Hanya perumpaan, Qil. Lagi pula postingan itu hanya untuk mengungkapkan bahwa sekecil apapun karunia harus disyukuri. Makanya ada orang yang bilang kalau bahagia itu sederhana, menurutku juga dari fenomena seperti itu,” kataku.

Aqila berasal dari keluarga kaya tetapi broken home. Setidaknya itu yang  diceritakannya padaku. Aku mengenal Aqila dalam sebuah perjumpaan tidak sengaja. Kami sama-sama jajan di warung  bakso di suatu siang yang terik. Waktu itu tanpa sengaja pesanan kami saling tertukar. Aku yang hobi makan mie ayam diberi semangkuk bakso rusuk dan semangkuk lagi berisi tiga biji tahu bakso ukuran jumbo. Jelas ini aneh banget, aku tidak suka tahu bakso dan aku tidak mungkin makan sebanyak itu.

“Mas, aku tidak pesan bakso!” teriakku.

“Mas, aku tidak pesan mie ayam!” teriak wanita di mejanya di belakangku.

Pelayan warung tergopoh menuju meja kami, lalu dengan sigap menukar makanan yang kami pesan. Aku menengok ke belakang dan melihat seorang perempuan sepantaran denganku dengan perawakan kurus, wajahnya yang mungil begitu manis dan cantik. Rambutnya dibiarkan tergerai menutup sebagian pundak dan dadanya yang tipis.

Aku terpana melihat makanan yang dipesannya. Apakah dia akan memakan semuanya? tanyaku dalam hati.

Dia melihatku malu-malu, seperti bisa membaca isi hatiku yang mempertanyakan betapa banyak yang dipesannya. Tanpa ba bi bu dia menggeser mejanya untuk didekatkan pada mejaku. Lalu dia menggeser kursinya. Kami berhadapan sekarang.

“Aqila,” katanya memperkenalkan diri.

Dennis,” balasku memperkenalkan diri.

“Kamu pasti heran dengan porsi makanku,”katanya sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum.

“Ehm…iya sih…tapi mungkin saja kamu hobi makan, jadi porsi sebesar itu tidak masalah bagimu,” jawabku sambil mengaduk mie ayam.

“Bagiku makan adalah sebuah pelarian untuk keluar dari beban hidup. Anehnya semakin aku banyak makan tubuhku tidak pernah gemuk. Berat badanku stabil begini-begini saja,” katanya sambil mengunyah bakso jumbo yang berisi urat.

Aku belum pernah bertemu orang baru yang begitu ringan memulai percakapan. Sebagai orang yang tidak suka banyak ngomong, aku senang ada orang yang memulai obrolan. Pendiam memang butuh pancingan untuk membuka perbincangan.

Singkatnya, kami kemudian saling tukar nomer handphone. Dia berjanji kalau datang lagi ke warung itu akan memberitahuku agar kami bisa bertemu lagi.

Aku belum pernah bertemu gadis seagresif itu. Tetapi aku senang memiliki teman baru. Aku diam-diam berharap dia mengirim whatsapp secepatnya untuk makan lagi di warung ini lain hari. Besok pun boleh, kalau bisa. Aku mulai berharap pada orang yang baru kukenal itu.

Waktu yang kunanti  tiba juga. Aqila mengirimkan whatsapp padaku untuk bertemu di warung itu. Dia memesan semangkuk mie ayam bakso, sementara aku cukup semangkuk mie ayam saja.

“Entah kenapa aku tidak bisa melupakanmu sejak pertemuan pertama kita. Lagian kamu posting status kayak gitu,” katanya.

“Posting status kayak gitu yang mana?” tanyaku.

“Tentang makna bahagia. Aku sangat tidak setuju denganmu soal bahagia itu yang menurutmu sederhana. Bagiku bahagia itu tidak sederhana. Untuk bahagia bagiku butuh usaha lebih, kompleks, banyak variabelnya,” katanya.

“Bahagia menurut versiku tentu berbeda dengan bahagia menurut versimu. Jadi kita saling menghormati saja versi masing-masing,” kataku.

“Duh…kayak agama saja,” ujarnya sambil tertawa sinis.

Aku tidak bereaksi untuk membalas ejekannya itu. Dalam beberapa hal Aqila memang menyimpan sebuah misteri yang tidak ingin aku ketahui. Aku mengaguminya sebagai gadis manis dan rupawan dengan segala keunikannya, banyak makan tapi tetap kurus. Tetapi ketika dia sudah membahas masalah serius tentang kebahagiaan, aku merasa disitu letak kemisteriusannya.

“Kamu cowok tersimpel yang pernah kukenal. Itulah yang membuatmu sangat menarik bagiku . Aku suka ribet, sementara kamu simpel. Jadi klop,” katanya sambil memutar-mutar mie pada garpu di tangannya.

Aku senang dia bilang begitu, artinya aku memiliki tempat istimewa di hatinya. Tetapi aku tidak ingin terlihat gede rasa. Aku berusaha menahan diri untuk tidak melompat, memeluknya dan bilang terima kasih. Aku tetap tabah duduk dengan sopan meski hatiku bergolak.

“Aku tidak tahu bagaimana cara memelihara rasa bahagia itu tetap bertahan selama mungkin di  sini,” katanya sambil menunjuk dadanya.

“Selalu bersyukur meski sekecil apapun momen itu, begitulah caraku untuk memelihara rasa bahagia itu,’ kataku. Aku merasakan setiap oksigen yang kuhirup dengan gratis setiap hari adalah sebuah kemewahan yang diberikan Tuhan padaku. Aku juga mensyukuri secangkir kopi yang kuminum setiap pagi. Aku juga mensyukuri meski di dompetku hanya tersisa dua lembar uang lima puluhan ribu, padahal gajian masih beberapa hari lagi.

“Aku punya banyak hal, melimpah dan bingung untuk kuhabiskan. Iseng-iseng saja kadang aku meminta pada asistenku untuk berjoget di depanku dengan lagu yang diputar dari youtube. Setelah dia menari kelelahan dan aku tertawa puas, kuberi dia beberapa lembar uang seratus ribu. Dia senang aku juga senang. Itu kebahagiaan,” kata Aqila.

“Kamu harus melibatkan Tuhan saat bahagia, agar hatimu bisa merasakan kedalaman dari arti bahagia yang sesungguhnya,” kataku.

“Itu bahagia menurut versimu. Silakan saja  begitu. Kalau versiku bahagia itu saat aku bisa tertawa puas, itulah rasa bahagia sesungguhnya”.

“Meskipun mengorbankan perasaan orang lain?” tanyaku.

“Aku tidak pernah mengorbankan perasaan orang lain”.

“Apakah kamu tahu isi hati paling dalam dari asistenmu. Dia memang tertawa saat berjoget dan tersenyum saat menerima uang darimu. Tapi apakah kau yakin dia ikhlas melakukannya. Bagaimana kalau sebenarnya hatinya menangis diperlakukan seperti….itu,” ujarku tak ingin melanjutkan kata-kata.

“Entahlah..ngomong-ngomong soal versi bahagia yang berbeda antara aku dan kamu, pernahkah kamu berpikir bahwa yang membedakan versi itu adalah latar belakang kita yang berbeda?” tanyanya seperti memancingku untuk berpikir keras. Dia berhasil melakukannya. Aku menyerah tak berkutik.

“Secara tradisi kami adalah keluarga yang glamor tetapi penuh tekanan. Papa dan Mama sering bertengkar hanya karena masalah sepele. Mama merasa sudah berusaha sempurna menjadi istri, tetapi papa menganggap Mama penuh drama dalam menghadapi segala hal,” katanya.

“Apakah setiap hari selalu ada drama di rumahmu?” tanyaku.

“Yach… dalam sehari dua kondisi bisa bergantian terjadi. Tertawa terbahak-bahak lalu berganti dengan caci maki memalukan. Suasana emosi yang tidak stabil dan mudah berubah membuatku bingung. Bahkan aku tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa merasa sedih padahal beberapa menit sebelumnya aku merasa sangat bahagia. Aku sempat depresi dan minum obat antidepresan. Bahkan sampai saat ini,” katanya.

Aku membiarkan Aqila terus bercerita apa saja. Dia senang aku memberinya kesempatan berbicara sebanyak-banyaknya. Mungkin baginya ada seseorang yang mau menjadi pendengar yang baik adalah sebuah kemewahan yang langka didapatnya.

“Aku sudah cerita banyak padamu. Sekarang gantian kamu cerita siapa kamu,” kata Aqila.

“Apakah itu penting buatmu?” tanyaku.

“Tentu saja penting. Aku butuh informasi selengkap mungkin tentang lelaki istimewa ini. Aku ingin berguru padamu untuk belajar ilmu bahagia padamu,” katanya berkaca-kaca.

“Konon katanya, untuk mengejar kebahagiaan manusia perlu mengenali dirinya sendiri dulu sebelum mengenal orang lain dan dunia sekitarnya,” kataku berhati-hati.

“Bagaimana caranya?”

“Banyak merenung, berpikir dalam diam, instropeksi diri dan mulai mensyukuri hal-hal kecil,” jawabku.

Dia tidak berbicara lagi setelah itu. Dalam diam dia menghabiskan mie ayam bakso pelan-pelan, tidak seperti biasanya yang antusias dan meledak-ledak berbicara.

Setelah itu kami tidak bertemu lagi. Aku tidak tahu cerita selanjutnya dari Aqila, apakah dia sudah menemukan bahagia menurut versinya ataukah dia memilih menyerah dan terjebak dalam kebahagiaan semu lewat obat antidepresan dan mengeksploitasi asisten untuk berjoget sampai kelelahan. Aku berharap dia bisa menemukan bahagia menurut versinya.

Post a Comment for "Bahagia Itu (Tidak) Sederhana"