Bunga Dahlia
By : Nuno Gusto
Darrel sudah menikah dengan seorang perempuan biasa, adik kelasnya di SMA. Pernikahan yang sudah memasuki tahun kelima itu membuahkan seorang anak perempuan yang wajahnya cantik mirip ibunya. Untuk anugerah tersebut Darrel sangat bersyukur. Banyak teman-temannya yang mengagumi kecantikan istri dan anaknya. Mereka bilang seberuntung itu kamu memiliki anak dan istri yang cantiknya kebangetan.
Bagi Darrel, Rima, istrinya, adalah wanita pertama atau lebih tepatnya cinta pertamanya. Darrel tidak terlalu tampan, tetapi memiliki tubuh tinggi dan atletis. Sebagai atlet voli yang melalang di kejuaraan pelajar hingga tingkat nasional. Penggemarnya banyak, bahkan sudah tersedia tiket kuliah dengan beasiswa dari beberapa universitas swasta yang ingin menjadikannya aset potensial untuk promosi ditengah persaingan. Tetapi memasuki tahun ketiganya di sekolah menengah atas itu Darrel mengalami cidera yang memaksanya berhenti bermain voli hingga kini.
Dia merasa mengalami degradasi hidup yang semula dielu-elukan berubah menjadi kesenyapan, from hero to zero. Satu-satunya semangat yang membuatnya tidak sedih adalah kehadiran Rima, yang selalu mengirimi surat-surat berisi pesan agar dia menatap masa depan dengan optimis. Rima mencintai apa adanya.
Tetapi kini ujian itu mulai menerpanya setelah mencium aroma wangi dahlia dari ruangan Ibu Direktur. Kebetulan dia mendapatkan tugas baru untuk membersihkan area ruang direksi beberapa minggu yang lalu. Secara fisik tidak ada bunga dahlia di dalam ruangan itu. Tetapi harum spesifik bunga dahlia dari parfum semprot yang menempel di dinding membuat Darrel membayangkan bunga dahlia yang sesungguhnya. Ada perasaan intim dan hangat , sebuah rasa yang membuatnya takut melamun lebih jauh. Dia penasaran seperti apa rupa bunga dahlia sebenarnya.
Lalu dia pergi ke toko bunga untuk mencari bunga dahlia. Sepanjang hidupnya baru kali ini dia pergi ke toko bunga. Bahkan istrinya tidak pernah mendapatkan setangkai bunga darinya. Sebagai orang biasa sangat memalukan jika mengungkapkan perasaan sayang pada istri dengan setangkai apalagi sebuket bunga. Darrel tidak mau istrinya marah hanya gara-gara sebuket bunga. Istrinya lebih suka dia membeli frozen food untuk stok camilan, karena anak mereka senang makan sosis dan nugget.
Pramuniaga toko bunga dengan sabar menunjukkan bunga dahlia yang dimaksud. Ternyata bunga dahlia variannya cukup banyak, dan toko bunga itu menyediakan dua varian dahlia yakni dahlia pompon dan dahlia waterlily.
"Saya pilih yang ini," kata Darrel sambil menunjuk dahlia pompon. Bunga berwarna ungu itu mahkotanya sangat cantik membentuk spiral, datar, dan penampilannya seperti digulung. Aromanya harum lembut, tidak sekuat parfum semprot di ruangan direktur. Tetapi bunga ini asli, nyata dan nampak elegan.
"Makna bunga dahlia sangat dalam sebagai ungkapan rasa cinta abadi, keindahan, energi batin yang kuat dan martabat atau kehormatan," jelas pramuniaga sambil tersenyum.
"Oya...saya baru tahu sedalam itu makna setangkai bunga dahlia," ujar Darrel terheran-heran.
Darrel tidak tahu mengapa dia membeli sebuket bunga dahlia yang harganya sangat mahal untuk ukurannya. Tetapi Darrel tidak peduli. Dia langsung kembali ke kantor, menaruh bunga itu ke dalam vas yang telah disiapkan sebelumnya. Darrel puas. Darrel memajangnya di lemari kecil di belakang kursi direktur.
Tiba-tiba suara ponsel berdering. Darrel membukanya cepat-cepat. Anaknya menelpon.
"Papa, kok belum pulang? Anya tidak bisa tidur kalau tidak ada Papa. Segera pulang ya? Bawain oleh-oleh, nugget ya," kata Anya dengan suaranya yang lucu dan menggemaskan.
Darrel seperti tersengat mendengar suara Anya. Dia segera keluar dari ruangan Direktur.
Keesokan harinya Ibu Direktur terkejut melihat sebuket dahlia dalam vas. Dia memanggil sekretaris dan menanyai mengapa ada sebuket bunga dahlia di ruangannya. Tidak sulit untuk menemukan, karena layar CCTV menunjukkan seorang office boy membawa sebuket bunga dan memasuki ruangan direktur setelah kantor tutup.
Darrel dipanggil sekretaris untuk menghadap Ibu Direktur.
"Apakah beliau marah?" tanya Darrel takut.
"Tidak tahu,' jawab sekretaris dengan ketus.
Darrel masuk ke ruangan. Dalam bayangannya bunga dahlia yang semalam diletakkan di belakang kursi direktur itu sudah tidak ada lagi. Tetapi diluar dugaan, bunga itu malah pindah tempat di atas meja kerja direktur.
"Kamu yang meletakkan bunga dahlia ini?" tanya Ibu Direktur dengan tatapan tajam.
"Iya, Bu. Maafkan jika kurang berkenan atas kelancangan saya," jawab Darrel menunduk. Dia benar-benar tidak berani menatap wajah Ibu Direktur yang anggun dan berwibawa. Tidak ada kemarahan dari nada bicaranya.
"Darimana kamu tahu kalau aku suka bunga dahlia?" tanya Ibu Direktur.
"Hanya menduga saja, karena sejak pertama saya membersihkan ruangan Ibu, pewangi semprot ruangan ini selalu bunga dahlia. Untuk ruangan yang lain aroma parfumnya berganti-ganti, tetapi ruangan ini selalu wangi dahlia. Saya hanya membayangkan seandainya bunga asli yang ditaruh di ruangan ini pasti semakin baik dan indah".
"Aku sangat menghargai usahamu".
"Terima kasih, Bu," jawab Darrel membungkukkan sedikit badannya sebagai bentuk rasa syukur atas kerendahan hati Ibu Direktur.
"Kau boleh pergi".
"Terima kasih, Bu".
"Oya...sudah berapa lama kau bekerja di sini sebagai office boy?"
"Sekitar dua tahun".
Ibu Direktur mengangguk-angguk.
"Tolong ganti bunganya kalau sudah layu. Uangnya minta sekretaris ya," kata Ibu Direktur.
Amboi, hati Darrel menari-nari bahagia. Semangat kerjanya meletup-letup. Sekarang dia tidak lagi murung memikirkan posisi kerjanya yang hanya menjadi office boy. Hasil kerja yang diapresiasi atasan membuatnya bahagia dan percaya diri. Dia selalu pulang paling akhir, memastikan ruangan khususnya ruangan Ibu Direktur tetap rapi dan wangi.
Tetapi Bos akhir-akhir ini sering pulang malam, masih mengerjakan tugasnya. Terkadang bersama sekretasisnya terkadang sendirian. Darrel hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Dia tidak berani bertanya pada orang lain apalagi sesama karyawan setingkatnya. Ibu Direktur berpenampilan masih muda, menurut kabar yang didengarnya saat teman-temannya bergunjing sambil menikmati makan siang, Ibu Direktur penah menikah dan memiliki anak yang kini sekolah di luar negeri.
"Bagaimana mungkin seorang wanita cantik dengan posisi direktur sebuah perusahaan makanan yang cukup besar bisa bercerai?" tanya seorang office girl sambil menggigit ayam goreng.
"Iya, apa kekurangannya Ibu Direktur ya? Masih muda, cantik, kaya raya. Konon anaknya sekolah di luar negeri karena mengikuti Papanya," ucap office girl yang lain.
"Mantan suami Bu Direktur juga orang hebat. Katanya sih diplomat. Kerjanya di Kedubes Amerika Serikat," kata office boy yang lain.
"Mereka sama-sama sibuk. Tidak punya waktu untuk berduaan, akhirnya cintanya mengering karena jarang disiram dengan kasih sayang," ujar office girl yang bertubuh gembrot.
"Ah, sok tahu kamu," sahut office boy sekikikan.
"Makanya orang itu harus wang sinawang," kata office boy senior dengan bahasa jawa medok.
"Apa itu wang sinawang?" tanya office boy dari Batak.
"Ehmm...apa ya...pokoknya semua hal tidak seindah kelihatannya. Contohnya Darrel nih...meski cuma office boy dengan gaji mepet tapi setiap hari hatinya gembira karena istri dan anaknya selalu menyayangi," jawabnya.
"Terus hubungannya dengan Ibu Direktur apa?" tanya mereka serempak, kecuali Darrel.
Darrel tersengat hatinya saat office boy senior mencontohkan dirinya. Tentu saja dia merasa tidak sepadan menjadi bahan percontohan yang baik. Bahkan teman-temannya tidak tahu pergolakan hatinya saat ini. Jika saja teman-temannya tahu kalau saat ini dia mulai menyukai Ibu Direktur, apa yang akan mereka katakan?
Darrel menghabiskan kopi gula aren di teras rumah. Rumah berlantai tegel hitam yang usianya lebih tua dari umurnya. Rumah itu milik sepupunya, warisan dari pamannya yang sudah meninggal. Darrel berhasil membujuk sepupunya untuk menempati rumah itu sementara waktu. Beberapa bagian rumah sudah diperbaiki dengan uangnya, hal itu yang membuat sepupunya yang sudah kaya itu merelakan rumah warisan itu ditempati Darrel dan keluarga kecilnya tanpa meminta uang sepeserpun.
"Sudah malam masih begadang terus? Apa yang kau pikirkan?" tanya Rima dari balik dinding rumah. Rima sudah capek seharian membuat camilan untuk disetorkan ke warung-warung. Begitulah perempuan muda itu mengisi hari-harinya sambil mengasuh Anya.
Darrel merasakan beban istrinya setelah seharian bekerja sambil mengasuh. Ia merasa bersalah pada Rima karena mengabaikannya, lebih memilih ngopi di teras sambil membayangkan wangi dalia dari ruangan Ibu Direktur. Ingin rasanya dia mengajak keluarga kecilnya piknik ke suatu tempat tanpa memikirkan pekerjaan dan keuangan yang mepet. Tetapi realitasnya saat ini posisinya memang sedang di bawah.
"Ya, sebentar lagi aku masuk," jawab Darrel sambil menghabiskan tegukan kopinya.
***
Ibu Direktur masih di ruangannya meskipun sore mulai beranjak malam. Dia menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya sambil memejamkan mata. Seperti ada yang sedang membebani pikirannya.
Saat Darrel melintasi ruangan direktur posisi Ibu Direktur masih menyadarkan punggungnya di kursi. Dia tidak tega meninggalkannya seorang diri. Dia hanya memantau Ibu Direktur dari ruangan lain. Kebetulan ada karpet lantai ruang rapat direksi ternoda dan cukup sulit untuk dibersihkan. Ruang rapat direksi hanya berhadapan dengan ruang direktur. Tetapi tiba-tiba suara Ibu Direktur mengagetkannya.
"Kau belum pulang?" tanya Ibu Direktur.
Darrel langsung balik badan dalam posisi membungkuk.
"Masih ada noda yang harus saya bersihkan." jawan Darrel.
"Kamu karyawan yang rajin dan bertanggung jawab," puji Ibu Direktur.
"Terima kasih," jawab Darrrel.
"Apakah kamu bisa menyetir mobil?" tanya Ibu Direktur.
"Bisa, Bu. Sebelum menikah saya pernah bekerja sebagai sopir pengangkut sembako".
"Oya? Baguslah kalau begitu. Lalu kenapa berhenti jadi sopir?"
"Keluarga yang melarang terutama istri, karena area kerjanya terlalu luas, kadang sampai luar daerah".
"Oh...," begitu reaksi Ibu Direktur.
"Sebetulnya aku butuh sopir untuk anakku. Beberapa hari ke depan dia akan kembali dari Amerika. Mungkin hanya satu bulan saja untuk mengantarnya pergi-pergi, Maklum sejak kecil dia sudah tinggal di Amerika. Kalau kau tidak keberatan, aku akan menugaskanmu untuk menjadi sopir anakku selama dia berlibur di sini. Apakah kamu mau?"
Darrel tidak segera menjawab. Dia tidak mempercayai tawaran yang baru saja didengarnya itu. Mengapa wanita ini mempercayainya untuk menyopiri anaknya selama liburan di Indonesia? Bukankah masih ada Pak Rozi sopir pribadi Ibu Direktur yang sudah mengabdi lama?
"Aku tidak mau memberi tugas tambahan Pak Rozi untuk mengawal kemana anakku mau berlibur," kata Ibu Direktur seperti bisa membaca pikirannya.
"Kalau begitu saya siap menjadi sopir selama anak Ibu berlibur di sini," kata Darrel tanpa ragu-ragu.
"Kamu tidak ingin minta pertimbangan pada istrimu dulu?"
"Saya kira tidak perlu, karena durasinya tidak lama dan tidak terlalu jauh areanya," jawab Darrel.
Perubahan posisi pekerjaan yang tiba-tiba membuat Darrel menjadi buah bibir sesama office boy. Mereka tidak menduga laki-laki yang baru dua tahun bekerja di perusahaan itu sudah mendapatkan kepercayaan dari pimpinan tertinggi untuk menyopiri anaknya meski hanya sebulan.
"Tidak boleh iri. Semua sudah ada jatahnya sendiri-sendiri. Siapa yang rajin akan mendapatkan hadiah tersendiri. Ayo kalian harus lebih rajin agar bisa beruntung seperti Darrel," kata Office Boy senior mengingatkan teman-temannya yang kasak-kusuk menggunjing Darrel.
Saat bertemu pertama kali dengan Vincent, anak Ibu Direktur, Darrel tidak menduga kalau usianya baru 15 tahun. Dia berani melakukan penerbangan sendiri. Remaja itu berpenampilan necis, rapi dan senyumnya selalu merekah saat berbicara. Bahasa Indonesianya lancar meskipun terkadang harus jeda agak lama untuk memilih kosakata yang bisa dimengerti lawan bicaranya. Sejak usia tujuh tahun dia ikut ayahnya ke Amerika, menempuh pendidikan yang teman-temanya rata-rata anak diplomat dan pergaulannya dengan warga setempat. Sangat terlihat sekali kalau Vincent sangat merindukan suasana tanah kelahirannya.
Darrel menuruti kemanapun Vincent ingin pergi. Remaja itu benar-benar menikmatai suasana liburannya. Setiap sudut kota telah dijelajahi. Potret kehidupan ibukota yang penuh dinamika, bersih kotor, hitam putih, kaya raya miskin ekstrim begitu lengkap dilihatnya. Meski begitu setiap orang yang ditemuinya menyapanya dengan senyum ramah, tidak kenal tapi tidak pelit senyuman.
"Mengapa mereka suka tersenyum meskipun aku tidak kenal mereka?" tanya Vincent pada Darrel ketika mereka melewati perkampungan kumuh saat memburu makanan yang viral di media sosial.
"Karena bagi kami senyum adalah bagian dari ibadah. Ibadah yang paling murah adalah tersenyum. Bahkan hanya dengan senyum kami sudah melakukan sedekah".
Vincent keheranan tetapi setuju dengan penjelasan Darrel. Keramahan orang-orang yang ditemuinya membuat Vicent merasa seperti sudah lama tinggal di kota ini. Dia mengungkapkan keinginannya pada ibunya.
Ibu Direktur sangat sedih sekaligus gembira setelah tahu Vincent ingin menetap di Indonesia.
"Saya ingin dekat dengan Mami. Di sana saya kesepian. Papi sangat sibuk. Di sini saya betah ".
Meskipun sibuk, Ibu Direktur selalu memiliki waktu untuk Vincent. Jika dia harus keluar kota, Vincent akan di temani Darrel. Vibcent yang awalnya menyukai basket, tiba-tiba menyukai voli setelah Darrel mengajaknya bermain voli. Meski sudah lama tidak bertanding karena cidera, Darrel masih sesekali bermain voli untuk mengobati kerinduannya pada olahraga itu. Dia mengajak Vincent untuk bermain voli dengan tetangga di lingkungannya.
Suatu ketika Darrel mampir ke toko bunga dan membeli sebuket bunga dahlia dan diletakkan di ruang keluarga rumah Ibu Direktur.
"Kamu membeli bunga dahlia untuk Mami?" tanya Vincent keheranan.
"Iya, Ibu Direktur sangat menyukai bunga dahlia," jawab Darrel.
"Itu bunga istimewa. Dahulu sebelum berpisah Papi sering membelikan sebuket bunga dahlia. Bukan hanya sebuket bahkan berbuket-buket. Mami sangat menyukainya," kata Vincent.
Darrel baru tahu begitu dalam kenangan bunga dahlia dimata Ibu Direktur.
"Kemudian semuanya menjadi berbeda setelah mereka berpisah. Waktu itu aku masih sangat kecil, aku tidak tahu masalah mereka apa, " kata Vincent sedih.
Setelah genap sebulan Papi Vincent menelpon menyuruhnya segera kembali ke Amerika membuat Vincent sedih. Ibu Direktur membujuk Vincent agar kembali ke Amerika. Dia berjanji akan menengoknya setiap tahun.
Darrel mengantar Vincent ke bandara untuk kembali ke Amerika. Ibu Direktur menolak mengantarnya karena tidak ingin kenangan indah selama sebulan dengan Vincent ini akan hancur berkeping-keping begitu melihat remaja itu melambaikan tangan terbang ke Amerika.
"Aku yang salah telah merelakan Vincent diajak ke Amerika oleh Papinya. Saat itu kupikir pekerjaan dan kesibukan mampu membunuh rasa rinduku padanya. Memang bertahun-tahun kau bisa meredamnya tetapi sebetulnya sangat berat. Aku lebih berat meninggalkan bisnis yang kubangun daripada mengikuti suami menjadi diplomat. Aku tidak siap menjadi istri diplomat. Aku membangun bisnis ini dari nol. Sebuah pencapaian luar biasa seorang wanita sepertiku".
Malam itu Darrel menghabiskan malam di rumah Ibu Direktur. Mereka berbincang di halaman luas sambil menikmati barbeku daging yang mereka panggang sendiri. Mereka menikmati daging sapi panggang terbaik dan minuman bersoda. Tidak ada minuman yang mengandung alkohol. Ibu Direktur menghormati Darrel yang tidak minum alkohol.
"Aku puas dengan kinerjamu. Tidak sia-sia Vincent bersamamu selama sebulan ini. Dia banyak bercerita kalau kamu bisa menuruti kemauannya. Bahkan katanya kamu pandai main voli. Kamu pernah membawanya ikut bermain voli di perkampungan ya. Dia sangat senang bahkan salah satu hal yang membuatnya ingin tinggal di Indonesia dan tidak mau balik ke Amerika".
Darrel tertawa.
"Ah, dia hanya kurang lama tinggal di sini. Kalau lebih sedikit lama pasti akan tahu betapa menyebalkan tinggal di area yang sebagian warganya tidak punya pekerjaan tetap. Olahraga menjadi satu-satunya cara untuk mengusir kepenatan hidup," ujar Darrel.
"Kamu tidak seharusnya jadi office boy lagi. Aku akan memindahkanmu ke bagian lain," kata Ibu Direktur.
Tetapi Darrel menolak."Saya lebih cocok bekerja sebagai office boy. Saya tidak punya ketrampilan lain selain bekerja kasar. Saya tidak mungkin bekerja di belakang layar, duduk berlama-lama di depan komputer atau laptop. Saya hanya cocok bekerja yang tidak terlalu membutuhkan kerja otak," kata Darrel terus terang.
Malam yang indah bagi Darrel. Meski melewatkan peluang untuk mendapatkan gaji lebih tinggi, tetapi baginya membersihkan ruangan Ibu Direktur lebih menyenangkan. Dia benar-benar menyukai wangi bunga dahlia, sebagaimana dia menyukai Ibu Direktur. Bukankah tidak ada larangan untuk menyukai seseorang? Sebagai ganti karena menolak pindah posisi pekerjaan, Darrel lebih memilih menerima hadiah uang cukup banyak dari atasannya itu. Dia tahu untuk apa uang itu nantinya. Rima membutuhkannya untuk menambah modal usaha. Dia ingin meratukan Rima.
Darrel meneguk kaleng sodanya dengan bahagia penuh kemenangan. Menikmati berbeku daging sapi berdua saja dengan Ibu Direktur? Karyawan sekelas manajer pun belum tentu bisa. Dalam pikirannya wajah Rima dan Ibu Direktur silih berganti tersenyum padanya. Mereka dua wanita istimewa yang sukar dijelaskan dengan kata-kata.

Post a Comment for "Bunga Dahlia"