Jika Waktu Dapat Diulang, Apa Yang Akan Kamu Putuskan?
By : Nuno Gusto
Penyesalan.
Itu kata pertama yang Sinar ucapkan
pada Harpa. Sinar adalah wanita istimewa dalam masa lalu Harpa. Mereka dahulu
sepasang kekasih yang tak terpisahkan sejak masa sekolah menengah pertama. Masa
cinta monyet antara keduanya. Setelah putus sambung selama beberapa tahun,
mereka kembali bersatu menjadi kekasih saat masa kuliah terjadi.
Uniknya, sepuluh tahun setelah
mereka lulus kuliah , tiba-tiba Sinar menghilang tak tahu rimbanya.
Harpa mencari sampai putus asa. Dan setelah kini telah tersemat cincin pernikahan
di jemarinya, Sinar muncul tiba-tiba!
Kini Sinar bukan gadis sederhana
yang dikenalnya dulu. Sinar berubah
menjadi sosok yang sangat berbeda, sorot mata penuh percaya diri, bicaranya
tegas dan selalu menebarkan senyum manis yang dulu sangat dirindukan Harpa.
Meski jarak dan waktu telah
memisahkan mereka, tetapi hati mereka ternyata tidak. Harpa masih menyimpan
kenangan itu, begitu pula Sinar, tidak bisa melupakan Harpa.
Kini keduanya berhadapan, dalam
sebuah pertemuan bisnis. Harpa mewakili perusahaannya demikian juga Sinar.
Sinar melihat jari Harpa yang tidak lagi
hampa. Ada cincin kecil melingkar di jari manisnya. Begitupun dia. Sinar sudah
memiliki pasangan hidup. Jemarinya juga sudah ada cincin bertahtakan berlian.
Cincin yang selalu mengingatkannya untuk tunduk dan patuh pada sebuah janji
suci yang telah dia dan suaminya ucapkan bahwa kesetiaan dan kejujuran adalah
segalanya. Pilar yang mereka satukan untuk menjadi kompas yang akan menuntun
kapal yang mereka layari menuju dermaga tujuan.
Saat pertemuan inti telah usai
dilanjutkan dengan acara ramah tamah, Harpa mengajak Sinar untuk keluar ruang
pertemuan. Mereka memilih keluar jauh dari hotel dan berbincang di kafe legenda
yang menyimpan kenangan mereka dulu.
Harpa senang melihat Sinar begitu antusias
menyambut pertemuan perdana ini. Setelah status keduanya berubah, bukan lagi wanita
atau lelaki single. Sinar adalah istri
dari seorang suami dan dua orang putri kecil. Sementara Harpa adalah suami dari
seorang perempuan manis yang selalu setia menanti di rumah dengan seorang anak
lelaki yang masih balita.
Keduanya menyadari posisi
masing-masing. Tetapi keduanya juga menyadari bahwa perasaan sayang itu masih
ada dan kuat menggoncangkan hasrat.
Mereka memesan makanan dan minuman
yang menjadi favorit mereka dulu. Steak daging sapi potongan terbaik dan dua
botol soda dingin.
“Sepertinya semesta telah
mempertemukan kita di sini,” kata Harpa sambil meneguk botol sodanya.
Sinar hanya tersenyum, mengamati
mantannya tanpa berkedip sedikitpun.
“Gerak-gerikmu tidak berubah, meski sudah sepuluh tahun lebih kita berpisah.
Kamu tahu, hal yang paling aku rindui darimu?” tanya Sinar.
“Apa?” tanya Harpa.
“Caramu memperlakukan makanan dan
minuman sangat…sangat antusias. Tegukan botol soda itu, lalu denting garpu dan
pisau saat memotong steak, saat kamu mengunyahnya…ada ekspresi kekanakan yang
masih tersisa dari wajahmu itu…,” kata Sinar dengan tatapan manis.
Harpa merasakan euphoria yang tidak
bisa dijelaskan dengan kata-kata. Momen pertemuan dengan Sinar melambungkan
energi berlipat-lipat . Sebenarnya Harpa
tidak begitu bersemangat menghadiri pertemuan bisnis mewakili perusahaan. Istri
dan anaknya sedang batuk pilek saat ditinggal, untunglah ibu mertuanya bersedia
menemani mereka di rumah.
“Kamu tidak berubah, ya,” ujar Sinar
sambil mengunyah makanan.
“Ah, aku sudah banyak berubah.
Sedikit gemuk dan sudah muncul rambut putih di sini,” katanya sambil menunjuk
kepalanya. Satu dua helai uban memang nampak di sana.
“Yach, kita berdua telah banyak
berubah. Aku pun tidak selangsing dulu. Maklumlah sudah emak-emak,” ujar Sinar
tertawa lepas.
Lalu mereka terdiam, seakan
menyadari bahwa pertemuan di kafe kecil sambil menikmati makanan yang menjadi
favorit mereka dulu adalah sebuah kesalahan kecil yang seharusnya tidak
terjadi.
“Maaf, jika aku telah lancang
mengajakmu kemari,” kata Harpa.
Sinar memotong keratan daging dengan
sangat hati-hati, sambil menahan perasaannya yang bergemuruh. Dia tidak ingin
terlihat gugup. Duh, ternyata aku belum
bisa move on, keluhnya dalam hati.
“Sebenarnya aku hanya ingin membuang
kebosanan di ruang pertemuan tadi. Setelah
acara inti selesai, aku memang sudah bertekad untuk menghabiskan malam di luar
hotel. Setidaknya menikmati malam sambil nostalgia saat kuliah dulu. Maaf, jika
aku melibatkanmu,” kata Harpa.
Ruangan yang mereka pesan adalah
private room. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Hawa dingin dari air
conditioner yang distel 160C menambah suasana mendekati beku dalam
arti yang tidak sebenarnya. Sinar menyesal tidak membawa cardigan yang
ditinggalnya di kamar hotel.
“Terima kasih kamu mengajakku kemari. Bagus
juga untuk merefresh otak agar tidak melupakan masa lalu. Tapi terus terang
saja aku menjadi tidak nyaman,” kata Sinar.
“Maaf…jika kamu merasa tidak nyaman.
Kita bisa akhiri pertemuan ini,” kata harpa.
“Kamu masih seperti dulu. Tidak
berusaha mengonter kata-kataku. Cobalah sedikit merespon omonganku dengan membantah
atau apalah...,” kata Sinar kesal.
“Apa?!!” tanya Harpa sedikit
meninggikan volume suara.
“Aku mau memesan kopi, kamu mau?”
tanya Sinar mengalihkan percakapan.
“Boleh,” jawab Harpa singkat.
Mereka melanjutkan pembicaraan
setelah pesanan dua cangkir kopi tanpa gula datang. Sinar menyeruput sedikit
demi sedikit. Pikirannya menjadi kembali tenang setelah cairan berkafein itu
pindah ke perutnya.
Harpa belum menyentuh kopi di
cangkirnya.
“Sinar, bolehkah aku bertanya satu
hal? Pertanyaan yang menghantuiku selama sepuluh tahun ini, mengapa kamu
meninggalkanku waktu itu? Tiba-tiba dan tanpa kabar berita,” tanya Harpa.
“Kamu membuatku kesal waktu itu.
Kamu pergi berboncengan dengan gadis lain. Padahal waktu itu kamu bilang tidak
bisa pergi karena harus mengurus ibumu yang sedang sakit. Ternyata kamu malah
berboncengan dengan gadis lain”.
Harpa mencoba mengingat sepuluh
tahun lalu.
“Kamu salah paham. Gadis yang
kuboncengkan itu sepupuku. Aku menjemputnya di stasiun waktu itu. Kenapa kau
tak tanya padaku, kau terlalu cepat terbakar api cemburu,” ujar Harpa.
Sinar hanya menatap mata Harpa,
tanpa berkata sepatahpun. Dorongan penyesalan membanjiri perasaannya.
“Kamu tiba-tiba menghilang begitu
saja. Semarah itukah kamu waktu itu? Ada ruang, waktu dan kesempatan untuk meminta klarifikasi. Tapi kenapa tidak dilakukan?” tanya Harpa
bernada menyalahkan.
Sinar masih mengingatnya. Momen itu
bersamaan dengan panggilan kerja yang sudah ditunggu-tunggunya akhirnya datang.
Dia pergi ke Surabaya, meneruskan tes lanjutan dan akhirnya diterima kerja di
perusahaan tersebut. Rasa sakit hati melecutnya untuk bekerja keras dan kini
dia telah menempati posisi tinggi di perusahaan.
“Kamu menyesali kehidupanmu sepuluh
tahun terakhir ini?” tanya Sinar.
Harpa terdiam. Dia bingung mau
menjawab apa. Sepuluh tahun terakhir adalah sebuah kehidupan yang luar biasa.
Setelah terpuruk ditinggal Sinar tanpa kabar, dia bangkit dengan berusaha keras
mendapatkan pekerjaan yang diidamkannya. Delapan tahun lebih dia masih berharap
akan bersanding dengan Sinar, tetapi desakan ibunya membuatnya menyerah dan
akhirnya menikah dengan gadis pilihan ibunya. Dua tahun setelah dia memiliki
istri dan anak, wanita yang dulu dinantikannya muncul tiba-tiba.
Harpa meraih tangan Sinar yang sedingin
es batu. Dia masih mengingatnya, dulu ketika telapak tangan Sinar sedingin es
batu tandanya gadis itu sedang dalam kesedihan mendalam. Harpa dengan sigap
menggenggam tangan Sinar. Menggenggam sangat erat.
“Aku minta maaf,” kata Sinar pelan.
“Aku juga minta maaf. Seharusnya aku
tidak menyerah begitu saja. Seharusnya aku berusaha lebih keras untuk
mencarimu. Aku terlampau diliputi amarah. Sebagai laki-laki seharusnya aku
lebih keras berusaha untuk mengejarmu. Aku pasif, aku pasrah, aku marah pada
diriku sendiri,” kata Harpa.
Sinar menitikkan air mata sambil
menatap cincin berlian di jari manisnya. Cincin itu seperti memiliki kamera
pengawas yang mengingatkannya untuk tidak berlarut-larut bernostalgia dengan
masa lalu. Ayolah kamu harus move on. Ada
dua putri kecil cantik yang menantikanmu di rumah, bisik kalbunya.
Sinar melepaskan genggaman Harpa.
Harpa terkejut, dia berharap Sinar
akan terus dalam genggamannya tidak hanya
kini tapi selamanya.
“Hentikan euphoria ini, Harpa. Kita
sudah berbeda, bukan lagi sepuluh tahun lalu,” kata SInar.
“Jangan menipu dirimu sendiri,
Sinar. Kau masih mencintaiku, bukan?” tanya Harpa.
“Ya,” jawab Sinar tegas.
“Ayolah…aku tidak ingin melepasmu
lagi,” kata Harpa.
“Bagaimana dengan komitmenmu dengan
keluarga kecilmu?” tanya Sinar.
“Kita bisa berjalan dengan dua kaki
dalam dua tumpuan. Satu tumpuan kaki adalah cinta keluarga dan satu tumpuan
kaki adalah cinta sejati,” kata Harpa.
“Siapa yang kamu maksud cinta sejati
itu? Kita? Ha…ha..,” kata Sinar sambil tertawa sinis.
“Yach, kamu cinta sejatiku,” jawab
Harpa.
Sinar beranjak dari tempat duduknya.
Dia melirik arloji di tangannya. Tidak terasa sudah dua jam mereka menghabiskan
waktu.
“Aku ingin menikmati udara di luar.
Sepuluh tahun rupanya sudah banyak perubahan yang terjadi di kota ini. Aku
ingin menikmatinya,” kata Sinar.
Setelah menyelesaikan tagihan
makanan dan minuman, Harpa menyusul Sinar yang sudah menunggunya di luar.
Mereka menyusuri kota yang masih sibuk.
Konon katanya kota ini sudah mengalami kemajuan melampaui kota-kota tetangga.
Bangunan hotel dan perkantoran menjulang. Bahkan hunian masyarakatnya tidak
lagi berderet tetapi menjulang ke atas. Tidak ada lagi tempat kumuh, semua
penghuni kota telah menempati rumah susun yang dibangun bagus.
“Aku sampai bingung mencari tempat
kost ku dulu, semua sudah disulap menjadi rumah-rumah susun. Anehnya hanya kafe
legenda ini yang masih berdiri kokoh diantara gedung-gedung menjulang,” kata
Harpa.
“Ini kota terbaik di negeri kita.
Kota ini indeks persepsi korupsinya tertinggi di seluruh negeri. Pemerintah
setempat telah menerapkan good governance dengan sangat baik, bukan hanya di
atas kertas tetapi sudah diterapkan di seluruh lini kehidupan. Tidak heran
kalau kota ini sangat maju,” ujar Sinar sambil menggenggam tangan Harpa.
Mereka terus menyusuri sudut-sudut
kota yang bersih dan terang. Lampu-lampu jalan berfungsi semua. Mereka akhirnya
menghentikan langkah ketika sudah sampai ke tepian danau buatan di tengah taman
kota.
“Aku ingin menghabiskan malam
ini di tepian danau . Lihatlah bulan
jatuh di permukaan danau yang tenang.
Malam ini kita beruntung bisa
menikmati keindahan dua bulan purnama,” ujar Sinar sambil menunjuk bulan
menggantung di langit ditemani
bintang-bintang dan sedikit awan bak dayang-dayang.
Mereka berdua duduk berdekatan di
kursi panjang dan menghadap danau. Harpa menengok ponselnya yang menyala dan
bergetar. Dia menyingkir beberapa meter untuk
menerima telpon.
“Besok aku baru pulang,” katanya
yang terdengar samar-samar di telinga Sinar.
“Kau kan bisa mengurus sendiri. Ah,
bodoh! Minta tolong adikmu untuk mengurus kalau kamu nggak bisa!...Tidak…malam
ini aku tidak bisa langsung pulang. Urusanku belum selesai. Besok siang..,”
kata Harpa sambil menutup percakapan.
“Ada masalah?” tanya Sinar.
“Eh…tidak. Bukan hal yang serius,”
jawab Harpa.
Harpa meraih tangan Sinar. Jemari
perempuan itu masih dingin meski tidak sedingin waktu di dalam kafe.
“Kamu merasa lebih baik, bukan?”
tanya Harpa.
“Yach…tempat ini membuatku bisa
berpikir jernih tentang satu hal, penyesalan yang sempat kurasakan tadi di kafe sekarang sudah sirna. Harpa, aku tahu
maksudmu membawaku ke kafe adalah untuk mengklarifikasi salah paham masa lalu.
Dan itu sudah kuanggap selesai. Kejadian masa lalu kuanggap garis takdir yang
tidak bisa kita elakkan. Andai saja aku tidak terbakar cemburu, andai saja kamu
berusaha keras untuk mengejarku mungkin saja hari ini kita sudah menjadi
sepasang suami istri. Tetapi pengandaian itu bukan realita. Kenyataannya
saat ini kita sudah memiliki kehidupan masing-masing,” kata Sinar.
“Pernahkah terbersit sedikit dalam pikiranmu, seandainya kita mengambil keputusan yang berbeda, seandainya waktu bisa diulang
kembali? Jujurlah pada hati kecilmu untuk mengijinkanku hadir kembali dalam hidupmu,” kata Harpa.
“Hasratku mungkin ingin, tetapi
kalbuku menolaknya. Entah mengapa dorongan kalbuku lebih kuat untuk
menyingkirkan hasratku yang awalnya meledak-ledak. Maaf, Harpa, aku tidak bisa,”
kata Sinar.
“Ini bukan hasrat, ini soal
kejujuran perasaan yang belum move on dari masa lalu. Aku sangat tersiksa
merasakannya. Please, beri aku kesempatan untuk mencintaimu lagi,” kata Harpa.
“Bagaimana aku bisa melarang orang
lain untuk mencintaiku? Silakan saja, tetapi itu hanya upaya
menggarami lautan. Kamu tahu nggak, diantara masa lalu dan masa depan terhubung sebuah
jembatan bernama kemungkinan. Andai dulu hubungan kita baik-baik saja belum
tentu juga akan tetap langgeng menjadi suami istri. Kemungkinan-kemungkinan itu
sesuatu yang misteri. Aku telah menyadari bahwa menyalahkan masa lalu adalah
kesia-siaan belaka. Aku sudah move on dari kamu,” kata Sinar dengan suara
bergetar.
“Sinar…” kata Harpa.
“Oya…bukankah orang yang tadi
menelponmu itu adalah istrimu? Kebetulan
tadi aku tidak sengaja sekilas membaca
“istriku” pada layar ponselmu ,” kata Sinar.
Harpa dengan sabar mendengarkan
kata-kata Sinar. Tangannya tetap menggenggam tangan Sinar yang kini mulai
menghangat. Dia tahu bagaimana kerasnya usaha Sinar untuk membohongi dirinya
sendiri.
“Aku hanya ingin mengejar
kebahagiaan di masa depan. Dan masa depanku adalah keluarga kecilku, suami dan
kedua putriku. Kamu juga harus demikian,” kata Sinar dalam suaranya yang
terisak-isak.
“Apa jadinya jika aku tetap
menggenggammu? Apa jadinya jika aku tetap ingin bersamamu meski harus bertumpu
pada dua cinta yang berbeda?” kata Harpa.
“Kamu keras kepala! Pergilah dari
tempat ini, aku ingin sendiri. Pulanglah kembali ke rumahmu, anak dan istrimu
sangat membutuhkanmu. Oya…jangan sekali-kali menyebut istrimu dengan sebutan
bodoh,” kata Sinar sambil beranjak dari tempat itu. Dia berjalan menjauhi Harpa
yang masih berdiri mematung.
Sinar mengitari danau yang lumayan besar. Dia melihat sebuah perahu kecil yang tertambat di bawah pohon. Dia menghampiri perahu itu, melepas temali yang terikat di pokok pohon itu.
Sinar menggeser perahu menuju tepian
danau. Kini dia mulai mendayung perahu pelan-pelan. Angin danau begitu lembut menerpa tubuhnya. Kini dia semakin menjauh dari tepiannya. Hatinya mulai tenang, dia berharap bisa segera menghapus penyesalannya akan masa lalu yang tak mungkin bisa diulang.

Post a Comment for "Jika Waktu Dapat Diulang, Apa Yang Akan Kamu Putuskan?"