Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penjual Sayur dan Anaknya

Penulis : Nuno Gusto

Apa yang kulakukan dalam hujan yang tak mau berhenti sejak pagi tadi? Tiduran bergumul selimut atau duduk di meja kerja sambil menulis di laptop? Aku lebih memilih yang kedua. Alasannya sederhana: aku ingin produktif.

Menyibak tirai gorden warna salem yang menutup cabang pohon yang berjuntai dari balik jendela kaca, aku menemukan kata pertama: hangat. Lalu aku menulis di laptop dengan modal kata hangat itu. "Hangat usapan jemarimu mampu melelehkan sebongkah salju yang menutup hatiku. Aku tidak marah lagi. Ternyata gelombang negatif yang dibawa rasa marah tak menguntungkan bagiku. Aku mudah pusing,susah berpikir jernih yang akhirnya membuatku tidak mampu bekerja maksimal".

Aku hentikan sejenak aktifitas menulisku. Suara penjual sayur berteriak nyaring menawarkan dagangan. Aku mengintip dari balik kaca jendela. Dia perempuan tangguh, dalam balut mantel hujan transparan terlihat jelas perutnya yang membesar karena mengandung. Dalam usia kehamilan yang ketujuh bulan dia tak takut menerjang keterbatasan. Dia tetap berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarganya.

Aku membuka jendela kaca dan berteriak : "Tempe selonjor, tepung gandum dan tepung beras, daun bawang dan sledri".

Dia mengangguk sambil melemparkan senyum. Dia cukup cantik, tetapi pelan-pelan kecantikannya memudar terhempas kerasnya hidup yang dijalani. Saat berumur 18 tahun dia menikah dengan kakak kelasnya di sebuah SMK swasta di daerah kami. 

Dalam waktu lima tahun berturut-turut anak pertama lahir, satu tahun kemudian disusul anak kedua, disusul anak ketiga di tahun keempat pernikahannya. Kini mendekati usia pernikahan kelimanya dia akan menerima anugerah anak keempat. Suaminya kerja serabutan. Terkadang memotong padi saat masa panen di sawah, terkadang jadi tukang batu saat ada proyek pembangunan. Dalam kesederhanaan mereka saling menghidupi. Tak ada keluh kesah yang biasa dilontarkan orang-orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. 

Aku keluar menuju teras untuk mengambil barang-barang yang kubeli dari tukang sayur itu. Senyumnya masih mengembang saat aku mengulurkan uang padanya. Seratus ribu.

"Belum ada kembalian, Bu," katanya sambil menggoncang-nggoncangkan tasnya. Sebuah tas bertulis  GUCI dengan sedikit koyak dibagian sudut-sudutnya. Betapa setianya tas itu menemaninya mencari rejeki.

 "Berapa sih semuanya?" Tanyaku. 

"Tempe 5 ribu, tepung gandum 10 ribu, tepung beras 6 ribu, loncang sledri 2 ribu, cabe rawit 10 ribu. Cabenya yang paling mahal, Bu. Jadi semuanya 33 ribu".

"Kembaliannya buat adik bayi saja," ujarku. Memang sudah kuniatkan untuk tidak meminta kembalian.

Ada nyala keharuan memancar di kedua matanya.

"Saya harap ini benar-benar rejeki buat anak saya, bukan sekedar rasa kasihan belaka".

"Maaf jika menyinggungmu. Tapi aku benar-benar tidak punya uang kecil," kataku.

"Saya tidak tersinggung, bu. Apalah saya ini. Orang seperti saya tidak boleh tersinggung. Kalau mudah tersinggung dagangam saya tidak laku. Bahkan saya tidak tahu apa itu tersinggung".

 Aku tertegun sejenak. Betapa luas hatinya.

"Hati-hati di jalan, ya. Kalau capai istirahat saja...ah...tentu kamu tidak butuh nasehat-nasehat seperti itu. Kamu lebih tahu dan berpengalaman menghadapi cuaca seperti ini. Tapi ingat ya...ini...nggak boleh kecapekan. Jaga tensi dan jangan lupa makan," kataku sambil memegang perutnya. 

Dia mengucapkan terima kasih atas perhatianku yang tulus. Setelah itu pembeli yang lain berdatangan. Aku segera masuk ke dalam untuk memasak mendoan.

Aku harus menyelesaikan laporan yang jatuh temponya malam nanti jam 12 malam. Manajer kantor tidak mau tahu tentang kondisi anak buahnya, yang penting kerjaan beres sesuai tenggat waktu yang diberikan.

Aku membutuhkan waktu hampir satu jam untuk membuat sepiring mendoan, menyeduh teh dalam teko ukuran sedang lalu membawanya ke kamar kerja. Aku masih punya cukup waktu untuk menyelesaikan laporan sambil mengunyah mendoan.

Sebuah pesan whatsapp muncul di layar. Suamiku menanyaiku minta dibelikan apa untuk menu makan malam nanti.

"Apa saja," jawabku singkat. 

"Ramen?"

"Ah, jangan itu-itu melulu". 

"Anak-anak suka itu, kan?" 

"Kemarin sudah ramen".

 "Oke. Terserah aku ya".

Aku kembali pada aktifitasku, membuat laporan diselingi menulis apapun bertema random. semua kulakukan untuk mengurangi kebosanan saja.

Sudah satu tahun terakhir aku bekerja dari rumah. Perusahaan tempatku bekerja bergerak di bidang penyediaan IT.

Hari berikutnya penjual sayur itu datang lagi. Anak ketiganya ikut. Seorang anak berperawakan kecil dengan senyum manis. Meski kecil mulutnya sangat ceriwis. Ibu-ibu menggodanya, menanyai apakah dia akan cemburu karena sekecil itu akan punya adik. Jawaban anak lelaki kecil itu bikin ngakak ibu-ibu: "Aku tidak cembulu karena bapak dan ibu lebih cayang aku".

Kecadelannya semakin membuat ibu-ibu menggodanya.

"Sayang bagaimana? Kamu dapat tambah saingan baru. Orangtuamu akan lebih perhatian pada adikmu nanti," seorang ibu muda mencoba memprovokasinya.

 "Bialin, sudah biasa. Aku suka ulus diriku sendili.mandili". 

"Hebat...anak sekecil ini tahu arti mandiri. Dan sudah mempraktekkan," sahut ibu lainnya menahan tawa.

 "Kalau besar mau jadi apa? Cita-citamu?," tanya ibu lainnya.

"Bajak laut. Ingin punya  kapal, punya anak buah, duitnya banyak. Nggak mau jadi tukang cayul... duitnya dikit".

Semua ibu-ibu tertawa terbahak mendengar kepolosannya.

Aku amati calon bajak laut di depanku ini. Matanya bulat besar penuh keberanian.

"Bajak laut suka es krim, nggak?" tanyaku. Aku ingat di kulkas masih menyimpan beberapa bungkus es krim.

Dia mengangguk berbinar.

Aku masuk dan memberikan dua bungkus es krim rasa vanila dan coklat. Dia kegirangan. Ibunya hanya mengamati lalu berterima kasih padaku. Hari ini aku membeli bahan untuk membuat gado- gado.

Anak-anak dan suami sangat menyukai gado-gado.

Sembari mengupas kentang rebus aku memikirkan sang calon bajak laut itu. Seberapa serius dia memiliki cita-cita tak lazim itu. Sebagai bagian dari generasi alpha mungkin pemikiran aneh bagi generasi x sepertiku. Pada generasi setelahku seperti generasi z pun, cita-cita masih berkutat seputar  dokter atau polisi. Peta dunia berubah ketika industri berubah ke digitalisasi. Cita-cita menjadi youtuber atau conten creator sangat menjanjikan.Bukan jadi bajak laut.

Hari selanjutnya tukang sayur datang membawa anak keduanya. Si bajak laut tidak ikut serta. Kakak bajak laut usianya satu tahun lebih tua. Anaknya pendiam. Dia fokus game dari ponsel.

"Main game apa?"tanyaku.

Dia hanya menatapku sesaat lalu kembali asyik main game.

"Dia memang spesial, Bu. Irit ngomong, tidak seperti anak lainnya," ujar tukang sayur.

Anak itu sepertinya jago main game.Ada momen dimana dia memenangi game. Sambil melonjak kegirangan dia berteriak tanpa menghiraukan sekelilingnya. Ibu- ibu tidak antusias menggodanya, mereka tahu kalau anak tersebut tidak suka diajak bicara.

Aku merayu anak itu dengan sebotol yogurt dingin yang kuambil dari kulkas. Dengan gaya cuek dia menerima botol itu dan langsung membuka tutupnya. 

"Enak kan?" tanyaku.

"Enak," jawabnya.

Aku memberinya yogurt kedua. Dia nampak tak percaya.

"Ma...boleh aku ambil?"

Tukang sayur mengangguk, sambil melayani pembeli.

"Kelas berapa?"tanyaku.

Dia merentangkan jemarinya. Dua. 

"Suka banget ngegame ya?"

Dia hanya mengangguk. Perhatiannya fokus tertuju layar ponsel. Sepertinya pertarungan memasuki masa krusial. Aku tidak begitu paham game meski anak-anakku dan suamiku suka memainkan game bersama saat santai.

Aku jadi memahami mengapa tukang sayur sangat bekerja keras meski dalam kondisi hamil besar. Dia ingin anak-anaknya menikmati kehidupan normal tanpa terbebani masalah ekonomi kedua orangtuanya. Memberikan uang jajan dan uang paketan internet menjadi kebutuhan primer di era ini.

"Setelah lahiran saya langsung KB,"ujar tukang sayur itu pada seorang pembeli yang kebetulan berprofesi bidan. 

"Bener lho..aku akan bantu,"ujar Bu Bidan memberi penekanan. 

Sepertinya tukang sayur dulu pun berjanji seperti itu tetapi tetap saja kini hamil lagi dalam jarak yang tidak terlalu lama dengan anak keempatnya.

Aku senyum-senyum mendengar celoteh ibu-ibu menanggapi janji tukang sayur. Mereka berkelakar khas ibu-ibu tentang seks yang menjurus omongan vulgar. Derai tawa mereka begitu lepas seolah-olah melupakan beban ekonomi yang berat. 

 

Post a Comment for "Penjual Sayur dan Anaknya"