Selembar Esai yang Tak Pernah Selesai
By : Nuno Gusto
Terkadang sebuah
cerita dimulai dari ketidaksengajaan. Mengalir begitu saja. Rangkaian cerita itu menembus
dinding-dinding keangkuhan jiwa yang telah lama tak tersentuh cinta. Bahkan
jiwa itu merasa tidak pernah mengenal cinta. Padahal dia tercipta dari dua hati
yang dipersatukan atas nama cinta. Namun seiring waktu dia tidak percaya bahwa
cinta itu benar-benar ada dan nyata.
Namanya Gladys.
Gadis remaja yang sedang berusaha menjadi bagian dari sebuah komunitas di
sekolahnya. Sebuah komunitas yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan Sang Ketua. Gladys ingin menjadi bagian
dari komunitas itu, tetapi dia mempunyai kendala. Satu syarat yang tidak
mungkin dipenuhi dalam waktu singkat, yakni membuat esai tentang cinta pertama.
Bagi Gladys
cinta pertama itu tidak ada. Cinta pertama adalah omong kosong yang
digembar-gemborkan para pujangga untuk menarik pembacanya agar menyukai cerita
yang dibuatnya.
“Bagaimana
esainya?” tanya Sang Ketua saat Gladys mencoba membujuknya agar memberi kelonggaran syarat untuk tidak membuat esai bertajuk
cinta pertama.
“Aku bisa
membuat esai selain bertema cinta pertama, bisakah temanya diganti khusus untukku?” bujuk Gladys sambil menyodorkan sekeranjang apel ranum dan buah anggur yang rasanya
sangat menggoda.
“Masih kecil saja sudah melakukan gratifikasi, kamu! Buat aku
sekeranjang buah ini tidak mempan untuk meluluhkanku. Kalau aku menuruti
kemauanmu berarti aku tidak adil dengan calon anggota lain yang sekarang sedang
berjuang membuat esai itu,” kata Sang Ketua marah. Wajahnya yang cantik nampak
berwibawa. Dia sudah menjadi ketua setahun ini. Dia siswa kelas sebelas.
"Aku tetap akan membuat esai tapi tidak bertema cinta," kata Gladys.
Sang Ketua hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi dingin,
Gladys melangkah gontai sambil membawa keranjang buah itu keluar
dari rumah Sang Ketua. Bobby, sepupunya, yang menunggu sejak tadi di pinggir
jalan menatapnya dengan rasa kasihan.
“Dia keras kepala,” keluh Gladys sambil melempar keranjang buah itu
ke tanah.
Bobby cepat-cepat mengambil kembali keranjang buah yang terkulai di
tanah. Untungnya keranjang itu atasnya dibungkus plastik sangat kuat sehingga
tidak membuat apel dan anggurnya terlempar keluar. Semua masih utuh meski
permukaan keranjang kotor terkena debu.
“Jangan marah gitu dong! Gratifikasimu tidak mempan, ya? Sudah bikin
saja esai itu, titik! Kamu tidak perlu buang-buang duit beli barang yang malah
bikin kamu tidak memiliki integritas,” ujar Bobby.
“Sok tua kamu, macam Paman Surya saja yang sedikit-sedikit bilang integritas,” omel Gladys.
Paman Surya adalah ayah Bobby, seorang aktivis anti
korupsi sekaligus orang yang telah membesarkannya selama ini.
“Pulang sajalah…,” kata Gladys singkat. Kekesalannya belum pupus
Bobby menghidupkan motornya. Keranjang buah itu diletakkan di depan.
Tak mungkin Gladys mau memangkunya seperti saat mereka datang ke rumah Sang
Ketua tadi.
Sesampai di rumah Gladys langsung masuk ke kamarnya. Dia tidak
mempedulikan pertanyaan Paman Surya yang keheranan melihatnya begitu suntuk
sepulang dari bepergian.
“Kalian bertengkar, Bob?” tanya Paman Surya.
“Enggaklah…Dia tuh lagi marah karena usahanya untuk masuk sebuah
komunitas gagal,” jawab Bobby sambil membongkar isi keranjang buah. Apel-apel
merah dan anggur itu dikeluarkan dari keranjang dan diletakkan di wadah buah.
Bobby mencomot satu buah apel dan mencomot satu buah apel lagi untuk
diberikan kepada ayahnya. Paman Surya menerima apel dengan suka cita. Lelaki
berperawakan gendut itu sedang menjalani diet untuk mengatasi gula darahnya
yang tidak stabil akhir-akhir ini.
“ Komunitas apa memangnya? Kok bisa Gladys ku yang pintar itu bisa
ditolak masuk?”
“Semacam perkumpulan yang isinya teman sekolah Gladys. Komunitas itu bergerak dibidang
sosial, seni dan budaya. Nah, Gladys mengincar masuk di bagian seni dan budaya.
Dia kan selama ini suka banget menari dan menyanyi. Tapi untuk masuk ke
komunitas itu harus membuat esai tentang cinta pertama. Dan Gladys tidak bisa”.
“Tidak bisa? Masa sih..Gladys tidak bisa membuat. Dia kan kutu
buku, biasanya kutu buku jago menulis”.
“Gladys sampai menyogok ketuanya agar diloloskan jadi anggota tanpa
membuat esai,” tukas Bobby sambil mengunyah apelnya.
“Apa? Menyogok?” tanya Paman Surya geleng-geleng kepala.
“Iya...sampai segitunya. Apel dan anggur yang sekarang berada di atas meja
inilah alat gratifikasi yang disodorkan ke ketua”.
Paman Surya hampir tersedak apel yang sudah separuh
dimakannya.
“Nggak segitunya juga kali, Yah…,” kata Bobby melihat reaksi ayahnya
yang menurutnya berlebihan.
“Apel dan anggur nya nggak salah, Yah. Ketua juga bukan pejabat
publik. Gladys pun menyogoknya untuk alasan sederhana dan tidak ada yang dirugikan”.
“Untuk hal yang sederhana itu saja Gladys sudah mencoba menyogok.
Nanti lama-lama jadi terbiasa dengan
urusan yang lebih besar” kata Paman Surya.
Sementara itu di kamar, Gladys mendengarkan kedua ayah dan anak itu
mendebatkan hal yang tidak subtansial menyangkut urusannya. Menyoal esai
bertema cinta pertama yang menurut Paman Surya sangat mudah dibuat. Dia memang suka membaca, dia juga bisa menulis,
tetapi untuk menulis tentang cinta pertama dia tidak bisa. Alasannya hanya satu, Gladys tidak pernah percaya cinta pertama itu ada !
“Memang ada cinta pertama?” tanya Gladys tiba-tiba keluar dari
kamarnya.
Paman Surya dan Bobby saling pandang.
“Ada sih menurutku,” jawab Bobby.
“Menurut Paman?”
“Ya…ada sih…”.
“Kalian pernah merasakannya?”.
“Iya,” jawab Bobby singkat namun tegas. Bayangan mantan terindah
yang sekarang sedang menempuh kuliah di luar negeri membayangi kenangannya.
Bobby mengunyah anggur untuk menenangkan hatinya yang perih teringat mantan.
“Cinta pertamaku ya dengan Tante Sarah, ibunya Bobby. Aku jatuh
cinta pertama kali dengan Sarah sampai kami menikah hingga sekarang,” kata
Paman Surya.
“Tapi aku belum pernah merasakannya, Paman. Aku tidak percaya kalau
cinta pertama itu benar-benar ada, makanya ketika Ketua membuat syarat untuk
diterima masuk ke komunitas harus membuat esai bertema cinta pertama aku
berusaha keras negosiasi agar aku diberi keringanan. Tanpa membuat esai bertema
cinta pertama tidak akan mengurangi kualitasku dalam seni dan budaya. Tapi,
Ketua memang keras kepala!” tukas Gladys.
“Aku akan menolongmu,” kata Paman Surya.
“Caranya?” tanya Bobby dan Gladys berbarengan.
Hari yang dijanjikan tiba. Paman Surya membawa Gladys dan Bobby
bepergian ke suatu tempat yang cukup jauh. Dengan mobil tua yang masih gagah
dan kuat mesinnya, mereka menempuh perjalanan keluar kota, membelah gunung dan
jembatan besar yang dibawahnya mengalir sungai dengan airnya yang tenang dan
bening. Sayang dalam perjalanan itu Bibi Sarah tidak bisa ikut serta karena
harus menemani Nenek Bobby yang sudah sangat tua.
“Kemana sih kita?” tanya Gladys penasaran.
“Iya nih, aku jadi penasaran juga,” ujar Bobby sambil menggeliat.
Tubuhnya serasa kaku karena separuh hari mobil terus melaju tanpa henti. Paman
Surya tidak terlihat lelah meski menyetir seorang diri.
“Sebentar lagi sampai tempat yang kita tuju. Aku harus mengejar
waktu sebelum semuanya terlambat”.
“Terlambat?” tanya Boby dan Gladys berbarengan.
Mobil mulai mengurangi lajunya, saat melewati jalan setapak yang
tidak cukup baik kondisinya. Hujan deras membuat permukaan jalan licin dan
berlumpur. Untunglah mobil buatan Jerman itu melaju dengan gagah meski pelan.
Sepuluh menit kemudian terlihat sebuah rumah besar berdinding kayu
jati tua dengan halaman yang cukup luas. Rupanya rumah itu adalah tujuan Paman
Surya mengajak Bobby dan Gladys.
“Kita sudah sampai,” ujar Paman Surya menepikan mobil di samping
pohon mangga arum manis yang sedang berbuat lebat. Saking lebat buahnya
sampai menjuntai hampir menyentuh tanah.
Dua orang lelaki dan perempuan yang sudah cukup tua tergopoh-gopoh
menyambut kedatangan mereka. Gladys
kagum dengan suasana alam pedesaan yang masih sangat alami seperti ini.
Suasana sangat sunyi, hanya suara-suara binatang dari hutan yang jaraknya tidak
jauh dari rumah itu. Rumah penduduk jaraknya cukup berjauhan. Meskipun begitu
aliran listrik sudah ada, meski untuk mencari sinyal cukup kesulitan.
“Kami sudah menunggu sejak tadi pagi. Meskipun kami tahu tidak mudah
untuk sampai ke tempat seperti ini. Jalan sudah mulai rusak meski baru di
bangun beberapa bulan yang lalu. Mungkin karena curah hujan yang tinggi membuat
aspal gampang rusak ya,” kata lelaki tua.
Perempuan tua itu menpersilakan tamunya untuk segera masuk ke dalam
rumah. Rumah yang terlihat sederhana dari luar ternyata di dalamnya lumayan
bagus dan bersih. Meski perabotannya sudah kuno, tetapi pantulan cahaya bolam listrik mampu memberikan keceriaan yang semestinya. Ruangan terlihat klasik tapi tidak
menakutkan.
Tuan dan Nyonya rumah sudah menyiapkan segalanya dengan baik.
Makanan dan minuman lezat melimpah di meja makan dan meja tamu. Mereka
bersantap siang dengan santai dan akrab, kecuali Boby dan Gladys yang canggung
dengan orang baru dan suasana baru. Tetapi tidak dengan Paman Surya yang pandai
bicara. Mereka bersenda gurau di sela-sela makan.
Setelah beberapa waktu kemudian mereka beralih ke ruang tamu.
Suasana mulai berubah serius, meski Paman Surya masih menyelipkan humor-humor
mengenang masa lalu mereka bertiga yang begitu asing buat Boby dan Gladys.
“Hari ini sebenarnya jadwal istriku untuk memeriksakan kesehatan
secara rutin ke rumah sakit di kota, tapi karena secara tiba-tiba semalam kamu
mengabari mau datang kemari, maka jadwal cek kesehatan itu kami tunda. Nanti
sore kami akan ke kota, menginap di sana, agar esok hari bisa memeriksakan
kesehatan dengan kondisi segar,’ kata tuan rumah.
“Mas Prabu dan Mbak Inggar, maafkan jika aku datang kesini jauh-jauh
sampai mengganggu rutinitas kalian. Tapi, ada hal yang ingin kukatakan pada
kalian berdua tentang Boby dan Gladys.
“Apakah dia anak yang kami titipkan padamu ?” tanya nyonya rumah
yang dipanggil Inggar itu menatap Gladys dengan sorot mata penuh kasih.
Gladys terkejut, dia tidak menyangka orangtua aslinya adalah sosok
dua suami istri yang sudah cukup sepuh itu. Dahulu sewaktu tahu kalau dirinya
bukan anak kandung Paman Surya, hatinya sempat marah pada orangtua kandungnya.
Meski Paman Surya sudah memberi alasan kalau kondisi politik yang tidak
kondusif yang membuat Gladys harus dititipkan.
Kedua orangtua itu menatap Gladys dengan tatapan penuh kasih. Amarah
yang disimpan Gladys sebelumnya mampu luruh sekejap, apalagi setelah dia mengetahui sejarah
mengapa dia sampai harus terpisah dengan kedua orangtuanya.
“Gladys sudah tumbuh besar, sudah SMA. Aku risau saat dia mengatakan
tidak percaya kalau cinta pertama itu ada. Aku berpikir kalau cinta pertamanya
adalah di sini. Di rumah ini, kedua orantua ini adalah cinta pertamamu”.
Gladys tidak bereaksi apapun saat keduanya memeluknya erat.
“Maafkan kami, Nak. Kami tidak bisa menjaga dan merawatmu
sebagaimana layaknya orangtua dalam mengasuh dan membesarkan anaknya. Karena
suatu keadaan yang membuat kami harus bersembunyi dari kejaran orang-orang yang
memfitnah kami”.
Gladys membalas pelukan kedua orangtua kandungnya setelah Paman Surya
membujuknya.
“Inilah cinta pertama yang sempat tidak kamu rasakan, Nak. Inilah
jawaban atas segala kerisauanmu karena tidak pernah merasakan cinta pertama itu
seperti apa. Cobalah lihat dinding-dinding rumah ini dipenuhi dengan potret
masa orangtuamu masih kecil, remaja, dewasa, kemudian menikah. Ini potret saat
ayahmu menjadi orang nomor satu di sebuah perusahaan besar di negeri ini.
Tetapi sebuah fitnah keji membuat ayahmu dan ibumu terpisah lama. Kemudian aku
berjuang untuk mempersatukan mereka. Kemudian kedua orantuamu tinggal di sini
sampai kamu lahir dan dititipkan pada kami untuk mendidik dan menyekolahkannya.
Saat inilah yang terbaik bagimu untuk tahu inilah cinta pertamamu. Alam politik
juga sudah berubah. Orangtuamu sudah aman dan sudah dibersihkan namanya”.
Dalam perjalana kembali ke kota Gladys duduk terdiam di jok
belakang. Tangannya sibuk menggoreskan pena di buku agenda. Dia mulai menulis
esai tentang cinta pertama yang diinginkan Sang Ketua.
“Terima kasih Paman, berkat Paman aku bisa menulis esai tentang
cinta pertama. Tapi esai ini tidak mungkin akan selesai”.
“Kenapa?” tanya Paman Surya keheranan.
“Aku tidak punya cukup waktu banyak untuk menuliskan rasa cintaku
pada kedua orangtuaku meskipun buku agenda ini sampai habis halamannya. Kisah
cinta pertamaku sangat panjang dan sangat dalam. Aku akan memulai esai itu dari
cinta pertamaku pada Boby. Aku baru menyadari kalau sebenarnya aku sangat
menyukai anak Paman yang badung itu. Sayangnya usia kami terpaut jauh, lima
tahun. Lagi pula mantan Boby lebih keren dari aku. Aku tahu Boby masih berharap
mantannya balik lagi padanya,” kata Gladys sambil melirik Boby yang sudah
terlidur pulas.
Paman Surya terkejut mendengar pengakuan tiba-tiba dari Gladys kalau pernah memendam rasa suka pada Boby. Selama ini Gladys selalu menutup diri dalam banyak hal apalagi soal percintaan.
Paman Surya tidak ingin membuat Gladys tersipu malu jika menyadari pengakuannya yang tiba-tiba itu. Pertemuan Galdys dengan orangtuanya yang pertama kali membuat gadis itu mengalami eforia sehingga tidak menyadari apa yang sudah diungkapkannya pada Paman Surya.
“Aku senang kamu ternyata punya banyak cerita tentang cinta pertama. Aku akan menantikan tulisan esaimu nanti sesampai di rumah, ya”.
Gladys tersenyum sambil mengangguk. Dia sudah membayangkan betapa
banyaknya esai yang akan dibuatnya dengan berbagai sudut padang yang berbeda.

Post a Comment for "Selembar Esai yang Tak Pernah Selesai"