Entrok: Suara Perempuan dan Pergulatan Identitas di Tengah Represi Orde Baru
Novel Entrok
karya Okky Madasari adalah sebuah potret sosial yang tajam dan jujur tentang
kehidupan perempuan di tengah tekanan budaya, politik, dan agama pada masa Orde
Baru. Dengan latar waktu yang membentang dari masa pasca-kemerdekaan hingga era
pemerintahan militeristik, novel ini menggambarkan bagaimana individu, terutama
perempuan, harus bertahan di tengah sistem yang membatasi pilihan hidup mereka.
Kata “entrok” yang berarti “kutang” dalam bahasa Jawa menjadi simbol dari
kehidupan dan kemerdekaan perempuan, serta ketabahan menghadapi berbagai bentuk
penindasan.
Cerita
berfokus pada dua tokoh utama: Sumarni dan putrinya, Rahayu. Sumarni adalah
sosok perempuan kuat yang membangun kehidupan dari nol. Meski tanpa pendidikan
formal, ia berhasil mandiri secara ekonomi melalui usaha pribadi. Karakter
Sumarni mencerminkan semangat emansipasi yang tumbuh dari akar rumput, tanpa
jargon-jargon modern. Namun, kemerdekaan Sumarni tidak berarti ia bebas
sepenuhnya dari kekangan sosial. Ia harus menghadapi tekanan dari masyarakat
patriarkal yang sering meremehkan perempuan, apalagi yang berani hidup tanpa
bergantung pada laki-laki.
Sebaliknya,
Rahayu tumbuh dalam semangat yang berbeda. Ia berpendidikan dan mencoba
menemukan jati dirinya melalui agama. Rahayu memilih jalannya sendiri dengan
menjadi seorang Muslimah yang taat, lengkap dengan perubahan penampilan dan
prinsip hidupnya. Namun, pilihannya ini justru memperlebar jarak antara ia dan
ibunya. Di sinilah konflik utama novel terjadi: benturan antara dua generasi,
dua cara pandang tentang kebebasan, dan dua dunia nilai yang sama-sama merasa
benar.
Okky
Madasari menyajikan dinamika ini dengan cara yang tidak menghakimi. Ia
menunjukkan bahwa baik Sumarni maupun Rahayu sama-sama korban dari sistem yang
lebih besar: represi politik dan budaya patriarkal yang melembaga. Rezim Orde
Baru yang otoriter memperkuat ketimpangan ini melalui kekuasaan militer dan
pembatasan kebebasan berpikir. Bahkan kebijakan negara menyusup ke ranah paling
pribadi seperti agama dan cara berpakaian. Rahayu sendiri sempat mengalami
tindakan represif karena dianggap menyebarkan ajaran yang berbeda dari arus
utama.
Kekuatan
utama Entrok terletak pada gaya penulisan Okky yang lugas, realistis,
dan tidak berlebihan. Ia tidak menggambarkan tokohnya sebagai pahlawan atau
korban belaka, melainkan sebagai manusia biasa yang kompleks, dengan segala
ketakutan, impian, dan luka. Narasi yang mengalir dan penggunaan bahasa yang
sederhana membuat pesan-pesan sosial dalam novel ini mudah dicerna namun tetap
membekas.
Selain
soal gender dan agama, Entrok juga membuka mata pembaca pada isu-isu
lain seperti korupsi, kekerasan militer, hingga relasi kuasa yang timpang
antara rakyat kecil dan aparat negara. Semua itu disampaikan dari sudut pandang
akar rumput, menjadikan novel ini relevan untuk dibaca lintas generasi.
Sebagai
karya sastra, Entrok bukan sekadar cerita tentang hubungan ibu dan anak.
Ini adalah refleksi mendalam tentang bagaimana perempuan berjuang untuk
mempertahankan identitas dan hak mereka dalam sistem yang menindas. Novel ini
penting dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami sejarah sosial Indonesia dari
sisi yang jarang diangkat—sisi para perempuan yang hidup dalam bayang-bayang
kekuasaan, tetapi tak pernah berhenti berjuang untuk dirinya sendiri.
Post a Comment for "Entrok: Suara Perempuan dan Pergulatan Identitas di Tengah Represi Orde Baru"