Langit Senja di Ujung Chat: Kisah Cinta dari Dunia Maya ke Dunia Nyata
Langit sore itu
berwarna jingga keemasan saat Naya duduk di balkon rumahnya, memandangi
matahari yang perlahan tenggelam. Tangannya memegang ponsel, menunggu
notifikasi dari satu nama yang kini begitu akrab: “LangitBiru_98”. Sudah hampir
dua tahun mereka saling bertukar pesan di aplikasi chatting, tetapi belum
sekali pun bertemu.
Perkenalan mereka bermula dari grup diskusi film yang tidak
terlalu aktif. Namun satu komentar panjang dari LangitBiru_98 soal film Before Sunrise berhasil menarik perhatian
Naya. Ia membalas dengan pendapatnya sendiri, dan sejak saat itu obrolan mereka
mengalir tanpa henti, membahas film, buku, makanan, bahkan kegelisahan hidup.
Tanpa sadar, Naya mulai menantikan pesannya setiap pagi. Mereka
berbicara seolah tak ada jarak, padahal kenyataannya, mereka bahkan belum tahu
wajah masing-masing secara nyata—hanya foto profil dan emoji.
"Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya nyaman banget ngobrol
sama kamu," tulis Langit suatu malam.
"Karena kita nggak menghakimi. Kita cuma...
mendengarkan," balas Naya.
Hari-hari berlalu, dan keintiman mereka tumbuh perlahan. Naya
pernah mencoba menjalin hubungan di dunia nyata, tapi semua terasa hambar
dibandingkan obrolan virtualnya dengan Langit. Namun, semakin lama, rasa penasaran
dan keraguan tumbuh bersamaan.
"Apa kamu pernah kepikiran buat ketemu langsung?" tanya
Naya suatu hari, hatinya berdebar.
"Aku sering kepikiran. Tapi takut, kalau semuanya berubah
setelah kita tahu dunia nyata itu tak seindah chat," jawab Langit jujur.
Naya paham. Dunia maya memberi ruang untuk jadi versi terbaik
dari diri kita. Tapi ia juga tahu, cinta tak bisa tumbuh selamanya hanya dari
kata-kata di layar.
Suatu hari, Langit mengirim pesan berbeda:
"Aku akan ke Jakarta minggu depan. Kalau kamu mau, kita bisa
ketemu di taman yang pernah kamu ceritain. Yang dekat danau kecil itu."
Naya terdiam. Campur aduk. Senang, cemas, takut. Tapi juga yakin,
ini saatnya.
Hari pertemuan itu datang. Naya mengenakan kemeja putih dan
celana jeans favoritnya. Rambutnya diikat sederhana. Ia menunggu di bangku
dekat danau, dengan tangan gemetar dan hati yang tak tenang.
Langit datang lima menit kemudian. Ia mengenakan jaket abu-abu
dan membawa buku. Senyumnya ragu, tapi hangat.
“Naya?” tanyanya pelan.
Naya tersenyum. “Langit?”
Dan dalam diam, mereka saling menatap. Dua orang yang pernah
asing, lalu dekat lewat layar, kini duduk berdampingan di bawah langit senja
yang nyata.
Obrolan mereka canggung di awal, tapi perlahan mengalir seperti
dulu. Bedanya, kini mereka bisa melihat ekspresi, mendengar tawa, dan merasakan
kehadiran.
“Kamu seperti yang aku bayangkan, tapi juga nggak sama,” ucap
Langit.
“Aku juga. Tapi ternyata, dunia nyata... nggak semenakutkan itu
ya,” sahut Naya.
Matahari mulai tenggelam, menciptakan semburat jingga di
permukaan danau.
“Langit senja ini... rasanya kayak kamu,” kata Naya lirih.
Langit tersenyum. “Dan kamu seperti alasan kenapa senja selalu
ditunggu-tunggu.”
Hari itu, dua hati yang
terhubung lewat sinyal akhirnya tahu bahwa cinta tak hanya bisa tumbuh di ujung
chat, tapi juga bisa bertahan di dunia nyata—asal keduanya mau saling percaya.
Post a Comment for " Langit Senja di Ujung Chat: Kisah Cinta dari Dunia Maya ke Dunia Nyata"