Lembar Jawaban Cinta: Antara Nilai, Ambisi, dan Hati
Namanya
Ares, 26 tahun, guru muda di sebuah bimbingan belajar elit di Jakarta. Ia
dikenal cerdas, tegas, dan menjadi favorit para siswa karena gaya mengajarnya
yang santai namun tetap fokus pada target. Baginya, mengajar bukan hanya
pekerjaan, tapi panggilan. Ia tak pernah menyangka bahwa suatu hari, ruang
kelas akan menjadi tempat ujian perasaannya sendiri.
Suatu
sore, Ares sedang memeriksa tugas siswa saat seorang gadis datang menghampiri.
"Maaf, Kak Ares, aku ingin bertanya soal matematika tadi," ucapnya.
Namanya Nadine, 17 tahun, siswi kelas 12 yang dikenal ambisius dan selalu
berada di peringkat tiga besar.
Ares
awalnya hanya melihat Nadine sebagai murid cerdas yang haus akan ilmu. Tapi
semakin sering mereka berinteraksi — dari sesi tambahan belajar, diskusi soal
SNBT, hingga obrolan ringan tentang mimpi masuk kampus favorit — Ares mulai
merasakan sesuatu yang tak seharusnya. Jantungnya sering berdebar saat Nadine
tersenyum, dan ia mulai menantikan kehadiran gadis itu di setiap pertemuan.
Nadine
pun merasa hal yang sama. Di balik ambisinya untuk masuk ITB, ia menemukan
kenyamanan dan motivasi dalam diri Ares. Ia bukan hanya guru, tapi juga teman
yang mendengarkan, sosok dewasa yang memberinya semangat ketika lelah belajar,
bahkan orang pertama yang tahu bahwa ia sering merasa sendirian di rumah karena
orang tuanya sibuk bekerja.
Namun, di
tengah kedekatan itu, keduanya sadar bahwa hubungan mereka adalah hal yang
rumit. Ares adalah guru, Nadine masih siswa. Etika, aturan, dan perbedaan usia
membentang seperti tembok besar.
Sampai
suatu hari, Nadine menyodorkan selembar kertas berjudul “Simulasi Try Out”
namun di baliknya tertulis pesan: "Kak Ares, bagaimana kalau setelah
aku lulus, kita bicara lagi soal perasaan ini?"
Ares
terdiam lama membaca tulisan itu. Ia tahu Nadine tulus, dan perasaannya sendiri
bukan sekadar sesaat. Tapi ia juga sadar bahwa dirinya tak boleh egois.
Dalam
sesi belajar terakhir sebelum ujian, Ares berkata, “Kamu pintar, Nadine.
Fokuslah pada impianmu. Kalau kita memang ditakdirkan, waktu akan mempertemukan
kita kembali, dalam situasi yang lebih baik dan tepat.”
Nadine
mengangguk, menahan air mata. “Aku akan lulus dan membuktikan kalau perasaan
ini bukan pengalih fokus. Tapi dorongan semangat.”
Waktu
berlalu. Nadine lulus dengan nilai terbaik dan diterima di kampus impiannya.
Komunikasi mereka sempat terhenti, seperti janji yang dikubur untuk sementara
waktu.
Tiga
tahun kemudian, Ares sedang mengajar kelas baru saat seorang gadis muda masuk
ke ruang bimbel dengan map lamaran kerja. Senyumnya masih sama, tapi kini ia
lebih dewasa. “Halo, Kak Ares. Aku mau daftar jadi pengajar part-time. Boleh?”
Ares
menatapnya, tak percaya. Di antara banyaknya lembar jawaban yang ia periksa
selama bertahun-tahun, hanya satu yang tak pernah ia lupa — lembar yang tak
berisi soal, tapi berisi harapan dan perasaan.
Kini,
lembar itu seolah dijawab oleh semesta.
Dan cinta
yang dulu tertunda, kini datang pada waktunya.
Post a Comment for "Lembar Jawaban Cinta: Antara Nilai, Ambisi, dan Hati"