Makam Tanpa Nama di Belakang Rumah
Pindah ke rumah warisan milik kakek di desa terpencil seharusnya
menjadi awal yang baru bagi keluarga Raka. Udara segar, suasana tenang, dan
biaya hidup yang rendah membuat mereka yakin akan keputusan ini. Namun, sejak
malam pertama, rasa nyaman itu berubah menjadi kekhawatiran.
Di belakang rumah, tersembunyi di balik semak-semak rimbun, Raka
menemukan sebuah gundukan tanah kecil berbentuk makam. Tak ada nisan, hanya
batu bulat besar di atasnya. Ibunya, Bu Wati, menganggapnya makam leluhur yang
dilupakan, dan meminta agar tidak diganggu. Tapi Raka merasa ada yang aneh.
Malam hari, terdengar suara langkah kecil di teras belakang. Raka
mengira itu kucing, sampai suara itu berubah menjadi isakan lirih, seperti anak
kecil menangis. Ia membangunkan adiknya, Lala, tapi adiknya hanya mengigau,
"Jangan main di luar, dia belum pulang."
Hari-hari berikutnya semakin aneh. Lala, yang masih duduk di
kelas 2 SD, mulai bicara sendiri. Ia sering duduk menghadap ke jendela belakang
dan tertawa kecil sambil berkata, "Namanya Dira, dia tinggal di belakang
rumah. Dia pengin main."
Bu Wati mengira Lala hanya berkhayal karena belum punya teman
baru. Tapi malam demi malam, isakan tangis dan suara langkah kecil makin jelas
terdengar. Suatu malam, Raka yang tak tahan, keluar untuk menyelidiki. Ia
mendekati makam itu dengan senter di tangan.
Tiba-tiba senter mati. Angin berhembus dingin. Dari sudut
matanya, Raka melihat bayangan kecil berdiri di dekat pohon mangga. Ketika ia
menoleh, tak ada siapa-siapa. Tapi tanah di sekitar makam terlihat seperti baru
digali—tanpa bekas alat apa pun.
Keesokan harinya, Raka bertanya ke Pak Darto, tetua desa. Wajah
Pak Darto berubah pucat saat Raka menyebutkan makam itu. Ia bercerita bahwa
dulu, seorang anak perempuan bernama Dira meninggal karena tercebur sumur di
belakang rumah itu. Karena panik, orang tuanya yang miskin diam-diam
menguburkannya di halaman. Karena tak sesuai adat desa, makam itu dikutuk jadi
tempat roh penasaran.
Pak Darto menasihati agar keluarga Raka menggelar doa dan
memanggil pemuka agama. Namun malam itu, Lala menghilang. Pintu belakang rumah
terbuka, dan di ambang pintu ada jejak kaki kecil basah menuju makam. Raka dan
Bu Wati berlari ke sana sambil menangis.
Di depan makam, Lala berdiri kaku, memandang ke arah pohon
mangga. "Dira sedih... dia cuma pengin ditemani," ucapnya pelan.
Setelah kejadian itu, keluarga Raka memutuskan memindahkan makam
Dira ke pemakaman umum dengan upacara layak. Mereka juga menaruh batu nisan
dengan nama "Dira" sebagai tanda hormat.
Sejak saat itu, suara
tangisan tak terdengar lagi. Lala berhenti bicara sendiri. Tapi sesekali, saat
malam sunyi dan angin bertiup lembut, terdengar suara tawa anak kecil di
halaman belakang. Bukan tangisan... hanya tawa pelan, seolah mengucapkan terima
kasih.
Post a Comment for " Makam Tanpa Nama di Belakang Rumah"