Ronggeng Dukuh Paruk: Kritik Sosial yang Terselubung di Balik Tarian Srintil
“Ronggeng
Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari bukan sekadar novel tentang
sebuah tarian tradisional atau kehidupan desa terpencil. Ia adalah cerminan
kompleks dari sebuah masyarakat yang terjebak dalam tradisi, kemiskinan, serta
kekuasaan politik yang menekan. Melalui tokoh Srintil, sang ronggeng, Ahmad
Tohari menyampaikan kritik sosial yang tajam dan menyentuh tanpa harus
menggurui. Inilah salah satu kekuatan dari novel yang dianggap sebagai
mahakarya sastra Indonesia ini.
Kisah
berpusat di Dukuh Paruk, sebuah desa kecil yang miskin dan terisolasi, namun
memiliki kebanggaan tersendiri dalam melestarikan tradisi ronggeng. Dalam
tradisi ini, ronggeng bukan sekadar penari, tetapi sosok sakral yang dianggap
membawa berkah dan kekuatan gaib bagi desa. Srintil, gadis muda yang mewarisi bakat
ronggeng dari garis keturunan sebelumnya, mendadak diangkat sebagai simbol
harapan baru bagi Dukuh Paruk. Namun, harapan itu dibarengi dengan pengorbanan
besar: tubuh dan harga dirinya.
Ahmad
Tohari menyoroti bagaimana tubuh perempuan seperti Srintil tidak sepenuhnya
menjadi miliknya sendiri, melainkan dikonstruksi oleh masyarakat dan tradisi
yang patriarkal. Sejak kecil, Srintil tidak punya banyak pilihan atas hidupnya.
Ia didorong menjadi ronggeng demi kepentingan desa, bahkan harus menjalani
ritual “bukak klambu” yang menyimbolkan penyerahan total terhadap kehendak
sosial. Dalam konteks ini, penari ronggeng menjadi simbol perempuan yang
dimanfaatkan sistem, disakralkan sekaligus dieksploitasi.
Selain
membongkar realitas budaya, novel ini juga menyentuh isu politik dengan sangat
halus namun menyengat. Latar waktu yang digunakan Ahmad Tohari adalah periode
menjelang dan setelah tragedi 1965—masa paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Dukuh Paruk, dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuannya, terjebak dalam
pusaran politik yang tak mereka pahami. Masyarakat desa menjadi korban
propaganda, dan Srintil, yang hanya ingin hidup tenang sebagai ronggeng, ikut
terseret dalam pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa benar-benar
mengerti dampaknya.
Tragedi
yang menimpa Dukuh Paruk menjadi representasi betapa kekuasaan negara dapat
melindas kelompok rentan yang tidak punya suara. Srintil pun berakhir di
penjara, bukan karena kesalahannya, melainkan karena sistem yang tidak adil.
Inilah bentuk kritik sosial yang ingin disampaikan Ahmad Tohari: bahwa
ketidakadilan bisa datang dari banyak arah—budaya, masyarakat, bahkan negara.
Gaya
bahasa dalam novel ini sangat puitis dan menggugah. Ahmad Tohari berhasil
melukiskan keindahan alam pedesaan dan kekayaan budaya lokal dengan sangat
hidup, namun tidak menghilangkan sisi gelap yang tersembunyi di baliknya.
Pembaca diajak mencintai keunikan tradisi, tetapi juga dituntut untuk merenung:
apakah semua tradisi patut dipertahankan, terutama jika ia menindas?
“Ronggeng
Dukuh Paruk” bukan hanya kisah Srintil. Ia adalah kisah tentang perempuan,
tentang masyarakat kecil, tentang sejarah yang dilupakan, dan tentang bagaimana
sastra bisa menjadi alat untuk membuka mata kita terhadap realitas yang
seringkali tak terlihat. Novel ini tidak hanya relevan di masa lalu, tetapi
juga di masa kini—saat kita masih terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan
di tengah kekuasaan yang kadang membungkam.
Post a Comment for "Ronggeng Dukuh Paruk: Kritik Sosial yang Terselubung di Balik Tarian Srintil"