Seribu Kopi, Satu Rasa: Cinta yang Tumbuh di Balik Barista
Aroma
kopi itu selalu sama setiap pagi—hangat, pahit, dan entah bagaimana
menenangkan. Bagi Naya, mahasiswi semester akhir yang magang di sebuah kafe
kecil bernama "Delapan Tujuh", kopi bukan lagi sekadar minuman, tapi
rutinitas yang perlahan jadi bagian dari hidup. Namun, ia tak menyangka bahwa
dari balik kepulan uap espresso, ia akan menemukan seseorang yang mengubah
caranya melihat dunia—dan juga, rasa hatinya.
Namanya
Raka. Barista utama kafe itu. Tidak banyak bicara, tapi setiap gerakannya
ketika meracik kopi begitu presisi, nyaris seperti seni. Awalnya, Naya hanya
mengamati dari jauh. Ia pikir, cowok itu terlalu dingin, terlalu fokus dengan
urusan biji kopi dan tak akan pernah tertarik mengobrol dengannya yang baru
belajar memegang milk jug.
Namun,
suatu pagi saat Naya datang lebih awal karena dosennya membatalkan kelas, ia
melihat Raka tengah menyusun playlist lagu untuk pembuka kafe. Tanpa sadar, ia
bersenandung mengikuti alunan lagu lama yang diputar.
Raka
menoleh dan tersenyum tipis, “Kamu tahu lagu ini?”
Naya
terkejut, tapi mengangguk. “Lagu Ayah saya dulu. Dia selalu putar ini waktu
pagi.”
Raka
mengangguk pelan. “Ayah saya juga. Dulu, waktu kami masih buka warung kopi
kecil di rumah.”
Percakapan
sederhana itu jadi awal. Sejak saat itu, mereka mulai saling melempar obrolan
kecil di sela waktu sibuk. Raka mulai mengajari Naya teknik latte art, cara
membaca karakter kopi, bahkan membedakan aroma arabika dan robusta. Naya, yang
awalnya sekadar ingin lulus mata kuliah magang, kini mulai jatuh cinta pada
dunia kopi… dan pada seseorang yang berdiri di balik mesin espresso itu.
Mereka
tak pernah saling menyatakan perasaan secara langsung. Tapi ada bahasa yang
hanya mereka berdua pahami—satu cangkir kopi hangat yang diam-diam ditaruh di
meja saat lelah melanda, secuil croissant yang dibelah dua dan dibagi
diam-diam, dan mata yang saling mencari meski ruangan penuh pengunjung.
Namun,
hari-hari indah itu diuji ketika masa magang Naya berakhir. Ia ditawari
pekerjaan tetap di kota lain, di perusahaan media besar yang sejak lama ia
impikan. Satu sore yang mendung, saat hujan turun perlahan, Naya memutuskan
untuk memberitahu Raka.
“Aku
diterima kerja. Di Jakarta,” ucapnya lirih.
Raka
terdiam. Ia sedang membersihkan portafilter, tapi tangannya berhenti. “Selamat,
ya,” katanya akhirnya, tanpa menoleh.
“Terima
kasih.” Suasana jadi canggung. Naya menatap lantai, mencoba mencari kata yang
tepat.
“Aku akan
berangkat minggu depan,” lanjutnya. “Aku cuma… nggak mau pergi tanpa pamit.”
Raka
mengangguk. Lalu, ia berjalan ke belakang meja bar dan kembali dengan dua
cangkir kopi.
“Aku
racik ini tadi pagi, tapi belum sempat kuhidangkan,” katanya sambil mendorong
satu cangkir ke arah Naya. “Coba rasakan.”
Naya
menyeruput pelan. Rasanya kuat, tapi lembut di akhir. Ada pahit yang manis di
ujung lidah.
“Ini
baru,” ujar Raka. “Namanya ‘Satu Rasa’. Aku racik dari campuran beberapa biji
pilihan. Katanya, kalau dua orang minum kopi yang sama ini dan tersenyum di
tegukan pertama, berarti mereka punya rasa yang sama.”
Naya
menoleh. Raka sedang menatapnya, senyum kecil di wajahnya.
Dan di
tengah derasnya hujan di luar jendela, Naya tersenyum. Tulus.
“Rasanya…
sama,” bisiknya.
Mungkin
mereka tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Mungkin waktu dan jarak akan menguji
segalanya. Tapi satu hal yang pasti, di antara ribuan cangkir kopi yang akan
mereka temui di masa depan, hanya satu yang punya rasa paling bermakna—yang
mereka bagi di hari perpisahan.
Seribu
kopi. Satu rasa. Satu kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Post a Comment for "Seribu Kopi, Satu Rasa: Cinta yang Tumbuh di Balik Barista"